Ribet bicara soal Demokrat. Akhir-akhir ini, Pak Beye yang mengambil kendali sepenuhnya atas Demokrat. Ketiadaan jubir yang mumpuni seperti Si Poltak membuat semua berantakan. Tidak heran karena komunikasi apalagi di dalam dunia politik sangat mendapatkan porsi yang besar, serius, dan tentunya tidak main-main. Perbedaan pendapat dan dukungan Ruhut dengan garis partai membuat pemecatan Ruhut tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Kedodoran karena ketegangan. Pak Beye terlalu tinggi dan jauh untuk menjawab seluruh isu dan keadaan yang terjadi. Apa  hasilnya malah jadi bulan-bulanan di media apalagi media sosial. Sayang orang setinggi dan sebesar Pak Beye malah jadi tontonan dalam bahasa Anas. Pak Beye seharusnya mendelegasikan kepada jubir biasanya Si Raja Minyak bisa membuat hal yang serius menjadi cair karena candaan dan model pendekatannya yang kocak ini sangat membantu. Lihat apa yang dihasilkan Pak Beye, ketika dagelan ditanggapi dengan sangat serius. Banyak hal yang seharusnya dibiarkan saja malah menguntungkan, namun eh malah dijawab dengan sangat keras dan berlebihan.
Kader yang mau membantu kurang kompeten dan tidak percaya diri. Takut salah kelihatan dari model Ibas, Agus, Syarif Hasan, dan juga Roy Suryo. Beberapa kali tanggapan mereka atas isu terhangat justru tidak membantu sepertinya malah membuat makin payah keadaan. Fraksi Demokrat di Kura-Kura Hijau juga tidak banyak peran membantu keluar dari tekanan yang cukup merepotkan tersebut. Ide soal hak angket penyadapan juga nyaris tidak terdengar lagi. Gegap gempita seperti hangat-hangat tahi ayam dipakai oleh kader karena sepertinya Pak Beye yang memang susah untuk percaya pada kadernya untuk menjadi corong yang mumpuni. Roy setiap pernyataannya meskipun dikemas dengan tawa khasnya tetap saja sumbang alias tidak meyakinkan akan apa yang ia ucapkan.
Timses AHY juga tidak banyak tampil di media. Jauh lebih dominan Pak Beye yang secara struktural tidak ada di dalam tim pemenangan AHY tentunya. Kelas Pak Beye pun tentu berbeda dengan Prasetyo Edi, Andrian, atau Bambang Widjoyanto. Posisi yang pak Beye buat sendiri karena sikap tidak percaya orang lain membuat semuanya berantakan.
Kesalahan pertama jelas membuang aset potensial terkenal oportunisnya. Dalam hal komunikasi tentu sikap oportunis ini sangat diperlukan dan penting. Malah Ruhut dibuang. Menggerus sendiri dengan dalam bangunan benteng yang mau dibangun kala satu pilarnya malah dijebol sendiri tentunya.
Kedua, sikap tidak percaya orang lain. Hal ini jelas sangat terlihat dengan ketum Demokrat yang rata-rata kerabat bahkan beliau sendiri. Ketika ada orang luar, Anas masuk, kelihatan Pak Beye gelisah dan akhirnya lahir drama Anas masuk bui. Usai Anas hilang, kendali langsung di tangan Pak Beye, presiden sekaligus ketua umum, ketua dewan pembina, dan entah apalagi. Setelah Ruhut dipecatpun komunikasi di tangan beliau.
Ketiga, serangan bertubi-tubi menyasar Pak Jokowi secara spesifik justru memperlihatkan kualitas Pak Beye. Rivalitas itu antara Agus-Ahok, mengapa selalu mengaitkan dengan istana? Masih pengin istana?
Keempat, rivalitas yang dibangun Pak Beye ke Ahok berbeda dengan Anies, hal ini  jelas mempertontonkan Pak Beye yang selama ini cermat menjadi kedodoran karena ambisius bukan demi bangsa dan negara.
Kelima, keseriusan dan kecermatan Pak Beye selama ini sepertinya ternyata hanya untuk mengamankan kekuasaan bukan dalam arti hati-hati dan cermat bagi bangsa besar ini. Gegabah ketika mendukung Agus secara tiba-tiba, menyerang Ahok dan Jokowi dengan lebaran kuda, dan seri lanjutannya yang makin menggerus pilar-pilar yang sudah terpatok dengan cukup baik sebenarnya.
Keenam, Pak Beye lupa model politikus di sini, demokrasi akal-akalan yang dibangunnya kembali memberikan pepesan kosong. Modal awal partai cukup, namun mesin partai ternyata tidak bergerak, khas Pak Beye. Parpol selama ini hanya datang sebagai simbol bukan suara, tampak jelas dalam pilkada kemarin.
Jika mau mengusung sang putera mahkota di tempat lain, alangkah bijaknya menunggu jeda dulu. Jangan baru KO di pertandingan satu langsung ditandingkan dengan lawan yang sama berat lagi, benar bahwa kekalahan adalah keberhasilan yang tertunda, kalau bahasa tinju mabuk pukulan bisa berabe jadinya. Trauma bisa usai masa depan Agus.
Tidak usah nggege mongso,semua ada waktunya. Pelan-pelan ikuti alr proses. Tidak ada yang instan kecuali mie dan kawan-kawannya. Bangun citra dan opini baik dulu. Medsos bisa dipakai, tapi pola usah Pak Beye perlu ditinggalkan. Tanggapi isu-isu daerah dan nasional dengan bijak, solutif, dan konstruktif. Tidak asal berbeda dengan pemerintah.
Jalin komunikasi dengan siapa saja. Terutama dengan PDI-P. Luka lama dan perseteruan Pak Beye dan Bu Mega tidak perlu diteruskan. Buka lembaran baru. Jika memaksakan diri di Jatim apa sanggup melawan juara bertahan yang masih baik-baik saja, atau  calon lain yang lama menggarap Jatim. Demikian juga tempat lain.
Matangkan dulu berpolitik di partai atau cara lain untuk bisa menelaah persoalan bukan semata hapalan. Aplikasikan ilmu yang ditimba hingga Amerika yang kemarin belum terlihat. Catatan pilkada perdana yang carut marut bisa diperbaiki. Tidak usah banyak mengeluh, sikap menerima kekalahan sudah bagus dan baik.
Modal awal penerimaan kekalahan yang berbeda dengan si bapak, cukup untuk dibangun sebagai sarana menuju menjadi negarawan yang mumpuni. Bangun dulu dari Demokrat. Buat Demokrat sebagai partai modern bukan partai masa lalu dan keluarga saja.
Jayalah Indonesia
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H