Akhir-akhir ini salah satu orang “kuat” di negeri ini senyap, yang biasanya paling ramai dan getol menyuarakan aspirasinya beserta dengan kelompoknya. Apapu n yang berbeda dengan pandangan kelompoknya jangan harap akan didiamkan, apalagi jika berkaitan dengan agama dan pelanggaran moral. Artis hingga pebisnis, putri-putrian hingga polisi, warung remang-remang hingga mall pernah merasakan “gerudugannya”. Media baik teve ataupun media cetak telah merasakan “kesaktiannya”. Dan akibatnya tentu saja materi jika itu perusahaan. Mau merusakpun “dikawal” oleh polisi dengan dalih daripada jatuh korban lebih besar. Itu aksi.
Suaranya pun lantang, mau menghujat siapapun seolah sah dan tidak jadi masalah, beda dengan apa yang orang lain katakan. Film, tayangan, ataupun kegiatan kalau dinilai tidak sesuai dengan pemikirannya jangan harap bisa berjalan dengan baik. Pedoman adalah sesuai dengan pemikirannya, entah mengapa kalau terorisme, korupsi alias maling, dan narkoba diam saja, beda dengan alkohol.
Kali ini beda penanganan kala ia menghina sebuah salam sebuah suku. Yang biasanya tidak akan ada tindak lanjut karena akan dibawakan pasukannya, kali ini ternyata dilanjutkan dengan proses hukum. Pernyataannya soal dasar negara dan pencetusnya juga berujung yang tentunya sama sekali tidak pernah ia sangka. Dilanjutkan ke proses hukum yang tidak mudah tentunya. Berderet-deret kasus hukum yang dilaporkan oleh organisasi, pribadi, dan kelompok yang beberapa saat lalu dianggap lalu kalau ada panggilan akan datang pasukan ternyata berbeda. Tidak heran kalau ia bersikap sangat berbeda dengan mengatakan jangan saling melaporkan, bagaimana bangsa dan negara ini akan dibangun, lho.....Kalau orang lain ia tuntut dan dilaporkan, giliran dia, mengeluh.
Sonya, seorang gadis yang merayakan kebahagiannya dengan konvoi kendaraan. Di jalan ia ditilang oleh polwan. Perlawanan dengan membawa kerabatnya yang pejabat, ia dibebaskan. Tidak lama kemudian ia dijadikan duta antinarkoba. Tentu penobatannya dengan berbagai pertimbangan.
Seorang artis becanda yang dinilai banyak pihak kelewatan soal kebangsaan. Ditanya soal Pancasila dan pengetahuan soal kebangsaan lain, ia jawab dengan seenaknya dan terkesan sebagai yang penting dapat tepukan dan membuat tawa penonton. Tidak berselang lama ia dinobatkan sebagai duta Pancasila.
Seorang politikus membuat keriuhan beberapa waktu lalu. Ia dituntut ini itu yang akhirnya membuatkan turun kelas dan kasus itu menggantung hingga detik ini. Malah ia bisa menjadi ketua umum parpol dan kini juga ketua salah satu lembaga negara.
Tiga contoh tersebut memberikan gambaran bahwa apa yang dilakukan dan diberikan seolah bertolak belakang. Apa yang terjadi berbeda bahkan berlawanan, perilaku yang berbau kontroversial malah mendapatkan imbal balik yang sangat besar dan baik. Bagaimana jika itu sebuah prestasi bukan?
Jika menyimak yang satu ini, dalam hal ini Riziek Sihab apakah juga akan berujung yang sama? Menjadi duta, atau tokoh ini dan itu. Apakah dalih daripada menimbulkan kegaduhan lebih besar, daripada adanya korban yang tidak diinginkan, atau ketokohannya bisa membantu untuk menjadi ini dan itu, kemudian menjadi duta untuk antipornografi, bukankah kontekstual kala ia menuntut tokoh yang diklaim melakukan dan merekam adegan hubungan badan untuk diseret di muka hukum. Menuntut pemimpin majalah yang dinyatakan tidak sesuai dengan norma agama dan budaya di pengadilan. Menolak dengan tegas pemain film asing yang sering menjadi bintang film dewasa dengan alasan yang itu itu juga. Dan kini kemungkinan ia melakukan apa yang tidak sepatutnya dilakukan. Ada korelasi yang pas dan konsisten jika menjadi duta antipornografi dan pornoaksi tentunya.
Bukan barang baru jika kelompok dan pribadi ini susah untuk berbicara soal pluralisme. Segolongan namun beda cara saja bisa ia libas dan dikatakan ini itu, apalagi yang jelas-jelas berbeda. Tentu bukan hal yang mengagetkan jika suatu saat ada kelompok atau organisasi yang menyematkan kepadanya duta pluralisme. Alasan yang bisa dikemukakan tentu saja hal yang sebaliknya dengan sepakterjangnya selama ini.
Soal Pancasila jelas saja bukan menjadi perhatiannya. Tidak heran ketika ia bisa mengatakan hal-hal yang tidak patut soal Pancasila. Berkaca dari duta-duta dan kisah di atas, bukan barang baru jika suatu saat ia dinobatkan sebagai duta Pancasila, entah mau dikirim ke mana dan untuk apa. Jika benar terjadi, memang luar biasa. Alasan bisa saja karena pemahaman baru yang telah ia temukan, atau ternyata hanya perbedaan persepsi sedangkan secara mendasar adalah sama.
Duta budaya bisa saja ia sandang. Alasan sebagai penegasan adalah ketokohannya mengatasi budaya dan lintas suku. Apa yang ia ajarkan didegar dan memiliki banyak pengikut militan, bisa menjadi kekuatan untuk memperkokoh budaya.
Melihat rekam jejaknya, susah ada kelompok yang akan menggunakan “jasanya” untuk menjadi duta di dalam konteks ini, budaya, Pancasila, pluralisme, dan antipornografi. Berbeda dengan kisah orang di atas, mereka masih muda, belum pernah tersangkut pidana, dan memiliki harapan untuk bisa dibina dan berubah.
Tentu aneh dan ajaib jika kontroversi demi kontroversi malah memberikan kedudukan. Bagaimana prestasi bermuara jika demikian terus? Apakah kontroversi mendapatkan apresiasi sedangkan prestasi malah membuat bahaya?
Jayalah Indonesia!
Salam
Bisa juga disimak:
http://www.kompasiana.com/paulodenoven
http://fiksiana.kompasiana.com/paulodenoven
http://www.kompasiana.com/paulodenoven
http://www.kompasiana.com/paulodenoven
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H