Diamnya Murid Dhian Achmadi dan Alung
Di kelas itu, hampir semua guru pernah mengeluhkan perilaku dua anak ini. Guru laki-laki pernah marah, membentak, melempar penghapus atau menjewer dua murid itu. Guru perempuan yang menangis sudah beberapa, beberapa lainnya melemparkan sepatunya. Anehnya anak ini sama sekali tidak menangi, mengadu kepada ortunya, apalagi ke Komnas Anak. Namun bandelnya jangan tanya, apalagi kalau ada guru praktek, beeeh, jangan tanya, Si Melati, anak PPL dari sebuah universitas mentereng, nangis tidak ketulungan karena antara malu, tidak terima, dan merasa tidak berdaya, mana tidak, ada sekecil itu sudah memberi lem di bangku guru, mau tidak mau, rok bawahan putihnya jadi coklat berpadu dengan jas almamaternya yang jingga.
Kepsek Cuma geleng-geleng kepala tiap kali mendapatkan laporan. Mau mengeluarkan tidak tega dan pantas juga toh, sekolah dunia pendidikan, mendidik anak menjadi baik dan berwawasan. Belum lagi laporan anak-anak cewek yang hampir bisa dipastikan tiap hari dari seantero sekolah yjadi korban usilnya. Dijepret bra bagi yang sudah mulai pakai, atau ditowel pipinya, tahu sendiri anak-anak lagi benci-bencinya lawan jenis. Bagi Dhian dan Alung tidak ada konsep benci lawan jenis, semua obyek olok-olokan.
Tidak ada lagi guru yang memedulikan tindakan mereka berdua, sepanjang kelas mereka masih bisa kondusif. Prinsip mana duli menjadi prioritas bagi guru-guru daripada menghabiskan energi dan menyenangkan mereka berdua. Mereka ini seperti kembar saja dalam kenakalannya. Semua perilaku guru ia contoh, apalagi yang lucu dan menggelikan serta bisa membuat tertawa satu kelas atau kelompok mereka. Mereka ini banyak teman hanya dalam mengolok guru dalam keseharian mana ada teman yang mau bergabung.
Guru dari yang paling senior hingga terbaru, dari yang mengajar atau kena iseng mereka sudah menghukum, dari hormat bendera di panas teriknya matahari, berlari keliling lapangan pas tengah hari, memunguti sampah di lapangan olah raga, atau berteriak “Aku tidak akan nakal lagi” keliling komplek sekolah, sama sekali tidak mempan. Semakin naik kelas mereka bukannya membaik, ortu dipanggil tidak datang, ternyata mereka sendiri sudah bosan mendidik mereka dengan rotan, dikurung di kamar mandi, eh malah berenang apa tidak malah lebih repot? Adik dan kakaknya kalau bisa bertukar mereka milih ditukar, ada adiknya yang saking jengkelnya dibawanya kakaknya ke pasar tiban dan ditawarkan dengan hamster untuk barter.
Perilaku mereka berdua ini identik dan kena batunya saat ada guru baru yang tidak mau menghukum mereka. Guru ini tahu bahwa mereka haus perhatian. Hukuman bagi mereka sama dengan perhatian. Maka si guru ini bertanya pada guru BP dan melihat berkas mereka. Bu Guru ini sudah mulas tiap mendengar nama mereka berdua, maka dengan begitu saja mengalir kisah, cerita, laporan dari bu guru BP ke guru baru. Pak Guru baru ini melihat ada kertas kumal yang bertandatangan, apa gerangan.
Ternyata surat perjanjian mereka berdua untuk mau diapakan jika mereka berbuat ulah atau onar lagi. Mereka memang gila menuliskan satunya potong kupingnya dan yang satu potong, maaf tititnya, itu kemaluan. Mereka memang bengal atau bebal atau keduanya. Mereka tahu dengan pasti gurunya tidak akan tega untuk melakukan itu, apalagi isi surat itu sudah membuat guru muda itu langsung merah padam.
Pak guru baru punya ide, dipanggilnya mereka berdua, sebelum membuat ulah di kelas yang dipercayakan kepadanya. Diajaknya mereka berbicara soal hukuman yang akan mereka lakukan kalau nakal lagi, dengan cengegesan mereka masih mengatakan yang sama soal potong kuping dan titit itu. Ia pikir halah guru baru, mana berani.
Ternyata, tanpa disangka dan diduga, apa yang mereka ucapkan dimasukkan ke pengeras yang masuk ke kelas-kelas, sumpah mereka disaksikan seluruh sekolah. Alung, “Saya bersumpah kalau nakal akan dipotong kuping saya,” dengan nada cengengesan merasa tidak bersalah dan tahu tidak akan dilakukan juga, demikian juga si Dhian. Tidak berselang lama, ketika mereka berjalan menuju kelas, sumpah mereka terdengar di lorong melalui speakeryang ada di atas kepala mereka.
Masuk kelas mereka merah padam karena ketahuan belang mereka selama ini yang mereka tutup-tutupi, padahal Dhian sudah memaksa wali kelas untuk menjadikannya wali kelas, kalau tidak ia akan membuat gaduh kelas selama keinginannaya tidak dituruti. Wali kelasnya guru putri, halus budi, muda, dan masih belum lama mengajar, jadi masih bingung menghadapi anak model demikian. “Huuuuuu, Dhian gak punya titit, Alung gak punya kuping, koor di lorong-lorong dari kelas.......” semua guru melongok keluar saking geli dan geram campur aduk. Koor anak-anak dari kelas masing-masing yang dilewati mereka berdua. Ternyata mereka bisa juga mewek seperti yang mereka sukai kalau menggoda anak cewek selama ini. Malah tangisnya lebih menyedihkan dan mengharukan dari pada anak paling manja dan kolokan sekalipun.
Pelajaran berharga meski tidak semestinya itu menjadikan mereka berdua jadi pendiam dan tidak banyak ulah. Mereka jadi anak alim dan patuh di kelas. Duduk rapi dan menyiapkan diri untuk belajar dengan baik.