Penulis besar Shakespears menyatakan apalah arti sebuah nama. Bisa dimengerti bahwa itu memang tidak menjadi hal yang sangat esensial, apalagi bisa juga berganti-ganti dengan tidak terlalu sulit tentunya. Meskipun demikian, ada pula orang yang sangat “menyakralkan” namanya, salah ejaan sedikit saja sudah membuat meradang, kalang kabut, bahkan marah sangat besar. Artinya sama-sama bisa dimengerti.
PSSI ternyata memandang soal nama ini menjadi penting, urgen, mendesak, bukan sekadar nama. Bagaimana usai kisruh berkepanjangan dan mendapat sanksi dari FIFA, pengurus terbentuk, dan lahirlah nama liga baru, LIGA 1, entah ini dibaca dalam bahasa Inggris, Perancis, atau Latin. Menggantikan Liga Super, atau bahkan dibaca dalam bahasa Inggris lagi, era kemarin. Pergantian nama sudah berkali-kali, namun toh prestasi tidak berubah.
Dalam budaya Jawa ada yang mengaitkan nama itu dengan kedudukan, misalnya anak orang biasa yang diberi nama orang gedean sakit-sakitan, usai diganti dengan nama yang “sesuai” sembuh. Atau anak yang sakit-sakitan usai berganti nama menjadi sehat. Kini ketika konteks soal PSSI dan liganya.
PSSI lebih baik fokus pada pembinaan, prestasi, dan kedisiplinan semua pihak yang terlibat di dalam sepak bola itu. Isu-isu soal suap, pengaturan skor, dan seterusnya itu akan terselesaikan ketika kualitas, kedisplinan telah menggantikan fokus klub selama ini pokoke dan kudu menang sudah berubah.
Pertama adalah kedisplinan semua pihak, baik pengurus PSSI dan klub, pemain, perangkat pertandingan, dan termasuk penonton. Bagaimana mau maju kalau dari atas saja bisa seenakknya sendiri menghukum yang tidak sepaham dengannya, dan ketika lain waktu dicabut lagi. Termasuk pemain latihan ala kadar, main kasar, dihukum ngamuk. Wasit memimpin tanpa tahu peraturan terbaru dan bisa dipengaruhi, karena pemain klub di sini mirip federasi pentung yang nggrubuti wasit dan biasanya takut. Ini soal mental yang jauh lebih mendesak dari sekedar nama.
Kedua, pembinaan berjenjang. Ini jelas berkaitan dengan jaminan masa depan bagi pemain. Mana ada orang tua yang akan mengizinkan dan melepaskan anaknya begitu saja menekuni bola kalau masa depannya suram. Beberapa waktu lalu gairah itu timbul, usai PSSI Era Riedle main cantik dan menjanjikan sebelum “dijual” dengan Malaysia. Diikuti U-19 era Indra Safrie sebelum dikalahkan sinetron dan kejar tayang itu, SSB di mana-mana banjir peminat. Artinya kesempatan PSSI berprestasi kala timnas menjanjikan dan ortu bahkan mengantar anak-anaknya.
Ketiga, soal pembinaan berjenjang dan berkelanjutan. Turnamen yang diiikuti kelompok anak hingga remaja sering bermain apik bahkan melawan tim sekelas Eropa saja bisa. Lha ke mana bibit-bibit ini setelahnya, kog tidak ada lagi yang moncer? Usai mengikuti kejuaraan klub dan pemain ini terus dipantau dan dijadikan tabungan untuk ke depan. Selama ini ya sudah usai begitu saja.
Keempat, soal pembinaan, bagaimana model transfer dan perpindahan pemain dan pelatih perlu diatur, janganlah ikut model Eropa yang dengan seenaknya pecat pelatih, di sini belum. Perlu waktu. Ini soal regulasi yang perlu dibicarakan.
Kelima. Pembinaan di bidang soal keuangan dan harga pemain. Ini soal ikut gaya-gayaan liga besar Eropa saja, sedang kualitasnya belum, akhirnya terengah-engah di tengah kompetisi dan bahkan bangkrut, jangan lagi model ini terjadi. termasuk juga pembatasan umur untuk main di level PON, SEA GAMES, dan selanjutnya. Selama ini ya itu lagi itu lagi, hanya karena faktor pengalaman, masa lalu bukan?
Keenam, peraturan yang perlu dipahami dan diterapkan dengan baik untuk seluruh pihak yang terlibat. Selama ini menjadi masalah ketika main dengan level luar negeri, pemain kita sering melakukan pelanggaran level mendasar yang bisa memalukan.
Ketujuh, lepaskan kepentingan apapun, politik, ekonomi, dan sebagainya dari bola. Ekonomi jelas menopang semuanya, namun bukan segalanya, terutama soal suap dan main uang, jika sponsor, iklan, atau sejenisnya itu jelas ada aturannya dan itu harus. Ini harus transparan sehingga bukan untuk kepentingan segelintir elit, sedang pemain berpeluh malah hanya mendapatkan sisa-sisa.