Pak Beye kembali mengeluarkan pernyataan melalui medsos yang menjadi polemik dan prokontra. Soal fitnah dan berita bohong yang seolah menjadi gaya hidup bernegara hari-hari ini. Bagi pendukung tentu saja disambut gegap gempita sebagai pernyataan negarawan yang galau dan prihatin melihat keadaan bangsa dan negara menurut pandangan beliau.
Sisi lain, yang tidak melihat sisi konstruktif cuitan Pak Presiden keenam ini mengatakan malah menambahi beban yang tidak penting dan panasnya keadaan terutama menjelang pilkada serentak edisi kedua pada bulan depan. Inipun beralasan.
Semua pihak baik yang pro dan kontra tentu memiliki argumen masing-masing yang mengandung kebenarannya sendiri-sendiri. Tentu hal ini juga keprihatinan seluruh anak bangsa yang mau negaranya jauh lebih maju, beradab, dan bukan malah saling sindir dan mempermalukan bangsa sendiri.
Mengapa berani memutarbalikan fakta, bahkan itu jelas-jelas salah, bukan semata memotong atau mengurangi, malah jelas-jelas bertolak belakang? Suka atau tidak, rela ataupun berat hati, pendidikan kritis tidak tercipta model pendidikan kita selama ini. Kebenaran bisa diperoleh dengan uang, tekanan, dan pendukung yang banyak. Bukan hanya satu dua kasus namun beribu-ribu kasus demikian. Sejak pendidikan kita diajarkan baik langsung ataupun tidak langsung hal ini. Ujian harian di bawah lima, namun bisa dipastikan di raport bisa menjadi enam atau lebih? Ini dari mana?
Kata-kata suci, label agama ini itu, apapun agamanya, lafal-lafal ayat suci apapun agama dan bahasanya hanya sebatas bibir, belum merasuki jiwa dan menjadi gaya hidup. lihat saja label para koruptor, yang membuat tulisan fitnah, berita bohong itu, semua beragama, lebih banyak berpendidikan dan tidak jarang tinggi lagi, dan menguasai teknologi lagi. Jika agama dan panduan iman itu menjadi gaya hidup tidak akan ada yang menyatakan korupsi sebagai musibah dan cobaan dari Tuhan. Mana ada maling dan copet yang mengatakan demikian?
Kemajuan informasi dan teknologi yang miskin etika dan mudahnya meminta maaf tanpa makna. Kemajuan teknologi nir etika membuat orang sesuka hati memaki, menghujat, mengatakan ini itu karena berjarak. Mana ada dulu ketika harus bertatap muka berani? Sama sekali tidak. Padahal dunia maya sama dengan dunia nyata ketika memegang etika. Kebohongan kemudian berpura-pura tidak tahu dan meminta maaf, usai sudah dan tidak ada tindak lanjut. Agama dan pengampunan bukan pembenar atas kejahatan dan kedengkian.
Toleransi tidak pada tempatnya. Sering pembiaran, pengampunan, pemaafan namun tidak pada tempatnya. Campur aduk. Yang seharusnya ada toleransi dipaksa, eh yang harusnya ditundukkan hukum malah ditoleransi. Mengapa demikian? Sikap cerdas  dan kritis tidak ada.
Keteladanan yang minim. Sikap pemimpin dari pucuk hingga paling bawah menjalankan perilaku yang sama. Minta dilayani, kebenaran sesuai kepentingan, menafsirkan sendiri sesuai dengan keinginan dan keperluan sendiri. Ini siapapun pemimpinnya sering masih melakukan hal ini. belum lagi ditambah kebencian yang tidak berdasar dan beralasan.
Pemisahan antara politik dan kepentingan lain yang belum bisa berjalan. Tentu banyak yang sepakat selama ini apa yang terjadi berujung pada uang dan kekuasaan semata. Politik sering menjadi panglima dan bahkan berhala di hari-hari ini. Semuanya soal politik. Agama, ekonomi, hukum, apapun tidak lepas dari politik. Jika bisa jernih, murni, dan menempatkan semua pada tempatnya, jangan keget bangsa ini akan jadi besar dan hebat. Agama biarkan saja pada koridornya, tidak perlu politik menungganginya, apalagi politisasi agama. Trans Jakarta saja ada jalurnya, mana bisa hukum sekaligus politik jadi satu?
Komitmen bersama yang lemah. Semua pejabat hingga rakyat jelata mengatakan NKRI dan empat pilar (salah kaprah yang sudah dicabut MK) itu harga mati, namun mulut yang sama mengatakan yang bertolak belakang dengan nyaman tidak merasa berdosa. Bersumpah jabatan berdasar agama dan dengan Kitab Suci masing-masing untuk  menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 45 namun perilakunya berbeda.
Penegakan hukum dan HAM yang salah kaprah. Pedang tumpul ke atas dan tajam ke bawah masih menjadi gejala umum. Atas nama HAM namun membela kejahatan, pelaku kriminal, dan perilaku buruk lainnya. HAM benar dan tepat untuk dilindungi dan ditegakkan namun bukan bak babi buta, sepanjang berkaitan dengan kelompok yang berseberangan lantang namun diam kala sekelompok atau afiliasinya. Hal ini sering terdengar, tidak heran berita bohong marak karena akan ada pembela yang tidak semestinya.