Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kiprah ACTA, antara Hukum, Politik, dan Agama

20 Januari 2017   15:09 Diperbarui: 20 Januari 2017   15:24 1326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kiprah ACTA, antara Hukum, Politik, dan Agama

Menarik melihat, menyaksikan, mendengar, dan membaca apa yang dilakukan ACTA dan Habiburohman di sekelilingnya. Google dan Wikipedia sebagai sumber informasi internet hampir tidak menyajikan data mengenai organisasi ini selain berupa berita atau artikel yang menyagkut kiprah mereka terutama soal Ahok. Pelaporan ini itu soal lagi-lagi Ahok. Saya belum menemukan informasi mengenai organisasi ini sebagai profil yang bisa dibaca soal visi misi, latar belakang, atau kapan lembaga ini terbentuk dan bagaimana kiprah mereka selain membuat berita soal Ahok.

Berkaitan dengan cabutan gugatan penistaan agama oleh Ahok di PN Jakut, ptut dilihat beberapa saat ke belakang. Bagaimana mereka terutama Habiburohman bersemangat soal “kejatuhan Ahok” dan segala tetek bengeknya, bahkan menggunakan adik Ahok untuk upaya itu. Ini bisa saja dilakukan jika memang berdasar hukum dan ada fakta hukumnya. Yang paling telak jelas soal penistaan agama oleh Ahok di Kepulauan Seribu.

Jauh sebelum ini ada sebuah kejadian yang menarik, dengan bumbu berita seturut media yang menampilkannya. Ada media yang menyatakan Ahok Kabur padahal Diajak Dialog oleh Acta dan Habiburrohman,atau AhokMenolakTawaran Dialog Habiburohman karena Telah Digugat Ke Pengadilan.Memang tidak persis demikian, namun dua kubu soal Ahok lari dan alasan mengapa Ahok tidak mau. Menjadi menarik adalah apa yang mau didialogkan kalau itu soal penistaan agama? Yang kemudian bergulir menjadi persidangan dan akhirnya pemisahan tuntutan sekian M itu yang menjadi pangkal dicabutnya gugatan.

Apakah berlebihan jika ada agenda seperti “memeras, menekan” Ahok dengan bahasa dialog? Ketika Oktober tahun lalu paling ada di dalam benak apa maksudnya dialog? Padahal titik pangkalnya jelas berbeda, sebagaimana kata Ahok, satu sisi menyatakan putih, sisi lain mengungkapkan hitam, apa yang mau didialogkan? Jika ada orang dikatakan menghina oleh yang merasa terhina? Apa coba yang mau didialogkan? Maaf? Ampunan, atau uang? Semua itu bisa terjadi, dan pada akhirnya yang bisa menjawab, akhirnya itu adalah waktu.

Tuntutan pertanggungjawaban yang berupa uang sangat sulit diterima nalar, bagaimana merupiahkan penghinaan? Kedua, siapa yang nantinya mengelola uang itu atau menerima uang itu jika dikabulkan hakim? Berkaitan dengan hal ini menjadi banyak tanya ketika jumlah fantastis yang dilayangkan dan kemudian dicabut kembali dengan dalih soal pemisahan kasus oleh pengadilan.

Kejanggalan dan keanehan itu adalah, jika ACTA itu lembaga hukum atau advokasi hukum, belum pernah terdengar kiprahnya selain berkaitan dengan Ahok. Memangnya kasus hukum di Indonesia ini hanya Ahok? Dua, soal pembelaan agama? Nyatanya banyak kasus agama, mengapa Cuma satu ini yang menjadi fokusnya? Politik? Lebih cenderung dan berat ke sana. Apa yang mereka lakukan lebih berat soal politik dengan menggunakan agama dan hukum sebagai tameng dan legitimasi dalam membawa agendanya.

Mengapa mengajak dialog, kemudian menuntut, dan mencabutnya sendiri? Ini keanehan lagi. Apa yang mau dilakukan dalam dialog? Soal tawar menawar uang? Jika iya mana yang lebih menistakan agama? Jika bukan apa coba ketika ujungnya berbeda demikian? lebih cenderung soal uang karena arahnya yang memberikan fakta yang lebih kuat. Nilainya yang sangat tidak wajar, siapa nanti yang mau mengelola, mau menerima dan atas nama siapa coba? Padahal yang merasa terhina yang mereka wakili dan yang tidak pun bisa dikatakan sama-sama besar. Nilai yang hampr di luar kepantasan ini lebih memberikan fokus soal uang, apalagi ada dialog di sana. Apalagi dikuatkan dengan dicabut itu lagi.

Lembaga, organisasi, apalagi organisasi massa memang sah lahir, hidup, dan berkembang di alam demokrasi. Namun tentu bukan asal berdiri atau lahir saja, ada misi dan idealisme untuk tumbuh kembangnya. Apa yang dihidupi ada manfaatnya bagi bangsa dan negara serta masyarakat secara luas tentunya.

Pengekangan berdirinya serikat, organisasi, dan lembaga sebagaimana Orba memang sudah tidak lagi pantas, namun bukan berarti bisa semau-maunya berdiri dipakai untuk kepentingan segelintir orang dan bertujuan menjatuhkan pihak lain. Salah satu saja organisasi ini, dan masih banyak lagi yang kiprahnya tidak jelas mau apa dan landasannya apa.

Demokrasi dan reformasi bukan semata legalitas berbuat semau-maunya sendiri dan melakukan apapun dengan dalih ini, bukan, harus bisa mempertanggungjawabkannya. Tidak elok tentunya ketika sudah ketahuan kemudian ngeles minta maaf, merasa tidak tahu, dan menyalahkan pihak lain atau melaporkannya sebagai sebentuk fitnah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun