Sikap Intoleran, Tantrum Kebablasan, dan Kekanak-Kanakan
Menyimak pemberitaan akhir-akhir ini, terutama berkaitan dengan sikap intoleransi dan akhir dari itu semua adalah sami mawon atau sama saja. Polisi berdalih demi tidak jatuh korban dan akhirnya tidak ada kesalahan prosedur dan ujungnya dengan dikatakan sudah diselesaikan dengan baik serta musyawarah, agar tidak lagi terjadi peristiwa yang sama dan nyatanya berkali ulang terus terjadi. Lebih menyedihkan lagi kala karena tidak ada pelanggaran hukum silakan dijadwalkan ulang seperti kasus terbaru di Sabuga.
Berkali-kali model ini terjadi dan terulang, seolah aparat penegak hukum mencari aman dengan mengawal kelompok yang besar dan potensi menang agar tidak jatuh korban yang menjadi dasar motivasinya. Ingat ini bukan soal agama mana, namun di mana yang kuat tidak mau melindungi yang lebih kecil di manapun dan agamanya apapun sama saja. Sikap aparat juga sama saja. Jadi ini bukan soal agama namun sikap aparat penegak hukum dan petugas keamanan.
Tantrum, memang secara psikologis anakdibiarkan saja meradang bahkan ngamuk,asal masih aman dan terkendali. Apa yang terjadi selanjutnya adalah adanya dialog, pengertian bahwa hal itu tidak patut dan perlu diubah. Orang tua bisa bersikap tegas dan mengatakan lain kali tidak akan ada toleransi terhadap sikap demikian. Artinya anak diajak berdialog bahwa tantrumbukan sarana untuk memaksakan kehendak yang pantas. Orang tua yang bijaksana memberikan bimbingan dan pengertian bahwa hal itu tidak baik, yang baik adalah, dan itu yang harus dikatakan bersama.
Tantrum,yang dihentikan paksa bisa membuat repot, namun kalau dibiarkan tanpa adanya pembicaraan dari hati ke hati, adanya penjelasan mana yang baik dna bukan anak bisa mengulangi model yang sama bahkan hingga tua, namun tentunya bentuknya tidak sama persis dengan menangis berguling atau meraung tersebut. Ketika sudah lebih besar apalagi tua, kog ngambegan,merasa mendapatkan ketidakadilan terus, mudah tersinggung hanya persoalan kecil, paling tidak mengindikasikan dulu sering ngambeg dan difasilitasi oleh orang tuanya.
Ngambeg, tantrum,dan pemaksaan kehendak lainnya adalah sebuah sarana, cara, jalan untuk mendapatkan sesuatu. Anak-anak bisa saja berguling-guling demi balon, es krim, dan jajanan lainnya, agak besar, patah hati ngamuk,menyalahkan rival yang tidak menyalib di tikungan, atau mencari pembenar diri tanpa evaluasi diri, ketika dewasa di tempat kerja hanya mencari kekuasaan dengan memaksakan kehendak sendiri, kemauannya tidak dipenuhi mutung, ngambeg,meradang, dan merasa dilupakan.
Kembali ke soal intoleran dan pemaksaan kehendak. Sikap penegak hukum apalagi, sedangnya pihak keamanan saja seolah mencari aman asal tidak ada bentrok. Pelaku pemaksaan kehendak seolah mendapat fasilitas, jika soal tidak terjadi bentrok artinya usai kejadian, kala sudah tidak lagi emosional, panas, dan banyak amarah bisa dipanggil dan diberi kursus khusus, jika memang melanggar hukum jelas dibawa ke meja hijau. Selama ini usai begitu saja. Berkaitan dengan hal ini adalah pemaksaan kehendak sebagai si tantrumini kekanak-kanakan, menggandalkan kekuatan, banyaknya dukungan, dan tidak dewasa, model pokoke.
Menang kalah, lagi-lagi sikap anak-anak. Bagaimana menyelesaikan masalah harus ada yang menang dan kalah, paling tidak mengalah. Selama ini model penyelesaian perilaku intoleran adalah ini. kelompok kecil harus mengalah demi kakak yang kuat puas dan diam, meskipun tetap belum tentu yang besar itu benar, kadang lebih sering salah dan pokoke. Kasus demi kasus modelnya sama dan diselesikan dengan cara yang sama.
Penghormatan akan kemanusiaan belum menjaid gaya hidup.Kkelompokku  harus mendapatkan prioritas, selalu benar, dan yang berbeda pasti salah, merugikan, dan perlu diajari untuk sama dengan aku dan kelompokku. Ingat bukan semata soal agama ini dan itu, semua relatif sama. Ketika kesadaran atas kemanusiaan dan Sang Pencipta itu ada, hal demikian tentu akan bisa berkurang.
Menyatakan kebebasan namun abai akan kebebasan orang lain yang juga sama. Irisan ini yang menunjukkan kualitas indovidu. Sikap teloran, menghargai, dan menyadari bahwa tidak akan hidup sendiri adalah cerminan hidup kita yang dewasa. Anak-anak lebih mengedepankan keakuanku.
Sikap dan cara pandang berbeda adalah salah dan musuh yang masih kuat. Model demikian tentu akan susah untuk bersikap dewasa. Berbeda itu anugerah dan berkat luar biasa, bagaimana mau disamakan? Pendidikan intelektual dan agama sangat menentukan cara pandang dan sikap batin ini.
Pemaksaan kehendak, sikap menang-menangan, arogansi, intoleran akan menjadi gaya hidup kalau kita bisa menyaksikan lalu lintas kita bisa adanya tepo seliro.Lihat sekarang ini bagaimana bus, truk besar, dan mobil tertentu bisa bak raja jalanan, bagaimana pejalan kaki? Tempat berjalan kaki saja kadang tidak ada. Main serobot, lawan arus, trotoar diambil alih adalah gambaran sikap intoleran yang seolah sangat wajar dan biasa. Hal yang kecil saja semrawut, apalagi yang besar dan penting?
Perubahan itu bisa dimulai dari diri sendiri. Tidak perlu menuntut namun melakukan dan menjalaninya.
Jayalah Indonesia!
Salam
Soal Tantrum bisa dilihat di artikel ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H