Kabinet Bayangan dan Keinginan, antara Ilusi dan Fakta
Entah mengapa akhir-akhir ini ada-ada saja kisah yang mencoba mengaitkan Ahok dengan Jokowi dan mau menjatuhkan presiden dari tampuk kepemimpinan yang sah dengan pemilu. Sebelum ini beredar pengakuan bahwa Gerindra telah punya kabinet bayangan yang siap mengambil alih kendali jika ada apa-apa. Apakah dengan demikian saja alih kekuasaan itu? Apa otomatis seperti itu?
Menarik jika dilihat apa yang bisa terjadi
Pertama, kabinet bayangan itu otomatis bekerja begitu saja jika memang mereka yang menggulingkan pemerintah dengan cara apapun, baik secara hukum dalam artian di parlemen, dan proses hukum karena pemerintah terbukti melakukan kesalahan konstitusi. Dan sepaket terbukti bahwa wapres juga melakukan hal yang sama. Satu paket wakil dan presiden keduanya melakukan yang sama, melanggar hukum semua, toh itu sangat kecil bukan?
Kedua, jika presiden yang berhalangan, baik karena hukum atau karena kesehatan, toh yang menggantikan bukan partai atau calon presiden yang kalah dipilpres sebelumnya. Wakil presiden yang akan menggantikan. Jadi sangat jauh adanya kabinet bayangan tersebut.
Ketiga, jika terjadi junta atau kudeta, yang bisa paling banter itu militer, artinya, orang militer atau orang yang dekat dengan militer, panglima TNI, kastaf, atau jajaran elit tentara. Mengapa tentara? Yang paling mungkin dan memiliki kekuatan untuk menodongkan senjata hanya militer. Dan kelihatannya jauh dari kabinet bayangan yang bisa naik ke sana, jauh pula ada alasan tentara menodongkan senjata ke istana.
Keempat, jika parlemen jalanan ala legeslator independen, apakah dengan begitu saja kabinet bayangan bisa mengambil alih? Meskipun mereka sebagai inisiator, pemodal, dan semuanya, tetap mereka tidak akan bisa dengan mudah untuk menduduki dan menempati orang-orangnya jadi anggota  kabinet.
Menilik panasnya suhu akhir-akhir ini, patut dilihat siapa yang berkepentingan dan mendapatkan keuntungan;
Suka atau tidak, justru wapres JK yang mendapatkan durian runtuh, lihat saja sama sekali tidak ada yang menyebutkan tuntutan untuk turunnya paket JKW-JK, kan hanya Jokowi saja yang diungkit untuk turun. Artinya, Pak JK akan naik status, bukan yang lain termasuk kompetitor di pilpres lalu, sama sekali tidak ada kaitannya dengan itu.
Siapapun yang mau naik menjadi presiden tetap tidak bisa dengan mudah untuk mengalihkan kekuasaan kepada siapapun itu, selain ke Pak JK, beda kalau sepaket yang diturunkan. Artinya, berlelah-lelah, capek, dan susah payah, yang dapat toh yang lain.
Paling banter yang bisa didapat yang paling besar jasanya hanya wapres, dan itu pun tentu banyak pihak yang akan berebut. Rebutan kekuasaan itu kembali rakyat yang paling menderita, merana, dan pembangunan yang mulai bisa dirasakan akan kembali mundur sekian lama.
Artinya apa?
Kembali ke zaman lampau, di mana pembangunan tidak terjadi selain perebutan kekuasaan. Saling jegal dan menjatuhkan karena merasa tidak mendapatkan keadilan, kursi yang dimaui, dan tentu ini tidak akan ada habisnya. Pemilu sah dengan menambah kevalidannya dituntut ke mana-mana saja bisa dianggap tidak bener, apalagi kalau awalnya memang sudah buruk.
Rakyat kembali dijadikan tameng untuk memenuhi hasrat tamak, rakus, dan haus kekuasaan saja. Sama sekali tidak ada keuntungan sama sekali dengan pola ini, mereka yang mendapatkan keuntungan, kekuasaan, dan mereka hanya fokus bagaimana mengamankan kapan memikirkan negara dan rakyat?
Perebutan kekuasan itu lingkaran setan dan budaya bar-bar bukan budaya modern. Bagaimana kekuatan dan otot hanya dikedepankan orang yang masih belum mampu berpikir cerdas dan memang pemikiran belum berkembang. Apa tidak malu jika dunia menilai bangsa ini seperti masyarakat terbelakang?
Demokrasi itu ada kurun waktunya, tidak bisa seenaknya sendiri mengganti pemimpin dengan dalih hanya karena asumsi, sakit hati, pilihan berbeda, dan sesuka hati. Apa ini yang dibanggakan sebagai negara demokrasi terbesar, pernah punya presiden perempuan? Tapi masih saja mau mengganti pimpinan dengan seenaknya sendiri.
Taat azas dan taat konsensus ternyata masih jauh dari harapan hidup bersama. Bagaimana negara ini bisa membangun, jika  pola pikirnya tidak berbeda dengan masa pemerintahan yang jatuh bangun ketika awal kemerdekaan. Dulu wajar namanya masih mau merdeka, lha ini, hanya karena tamak dan rakus saja.
Negara besar ini terombang-ambing di antara belantara perebutan kekayaan, dan jauh dari negara-negara tetangga yang berbicara piala dunia, bicara terbang ke bulan atau mars, eh kita malah hanya berebut kursi dan kursi lagi. Bagaimana mau bicara level dunia, ketika tingkat regional saja terengah-engah dan malah berebut kursi dan kursi bukan prestasi.
Negara lain berpikir soal teknologi dan kemajuan iptek, eh kita malah ribut soal jabatan, berhitung dan hanya fokus melihat dan menantikan rival membuat kesalahan. Jangan salahkan pihak luar kalau memang jiwa sendiri kerdil dan  tidak memiliki jiwa besar, apalagi impian besar.
Apakah hanya bangga jadi seperti ini terus?
Jayalah Indonesia!!
Salam dan Doa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H