Ahmad Dhani, Buni Yani, dan Ahok, Citra Penegakan Hukum
Akhir-akhir ini dunia hukum yang berkelindak dengan politik, dimulai dengan kisah Ahok yang diperkarakan karena ucapannya, yang diunggah oleh Buni Yani yang menjadi ramai, ini belum selesai. Eh ditambahi dan ditingkahi dengan ucapan Achmad Dhani dan itu pun berpotensi ada pelanggaran hukum.
Persoalan hukum yang berkaitan dengan satu tema ini, biasanya lebih berat pada “tekanan” daripada obyektif soal hukum. Belum lagi adanya penyangkalan dan tuduhan, dan kemudian ada perlawanan dan saling lapor. Persoalan laporan yang akan dibalas dengan laporan pencemaran nama baik.
Salah satu hasil atau produk penjajah yang masih saja dipelihara. Logika yang bukan berdasar ilmu hukum, dulu Belanda sebagai penjajah tentunya membuat perundangan yang berpihak ke mereka yang biasanya merugikan rakyat pribumi, kalau ada yang melaporkan ebrbuat jahat akan dituntut sebagai pencemaran nama baik dan atau fitnah. Akhirnya siapa yang berani melawan perilaku buruk para penguasa termasuk kelompok mereka. Artinya mau membuat rakyat tidak berdaya. Repotnya hal tersebut masih dipelihara karena menguntungkan elit dengan model hukum seperti itu.
Seharusnya, pelaporan pencemaran nama baik sebagai reaksi pelaporan kasus lain ditangguhkan atau hasil dari peradilan pelaporan pertama sebagai hasil keduanya, jika tidka terbukti berarti pelapor dijadikan tersangka dan diproses hukum, dan jika terbukti tidak akan ada laporan pencemaran nama baik. Contoh, ada pejabat dilaporkan korupsi, laporan maling berdasi ini diusut tuntas dan disidang, jelas jika terbukti yang dilaporkan masuk bui. Jika tidak terbukti pelapor berarti melanggar hukum dan ada persidangan soal pencemaran nama baik dan fitnah, bisa pula mempermainkan hukum dan penegak hukum.
Jika demikian kepastian hukum bisa diyakni kebenarannya, pelapor dilindungi etikat baiknya, dan pelaporan atas penguasa, baik karena kaya atau pejabat bisa terjadi, orang tidak bisa dituntut mencemarkan nama baik kalau memang belum terbukti, selama ini kan tidak demikian. Kasus demi kasus sering terjadi karena model demikian ini. pelapor malah masuk bui, maling melenggang karena mempunyai kekuatan.
Selama ini lihat saja ada koruptor yang bisa mengulur-ulur waktu dengan pra peradilan, padahal jelas-jelas tertangkap tangan. Mengapa tidak dijerat sekalian bukan dengan mempersulit persidangan, namun juga merusak nama baik lembaga negara. Pelaku kriminal lebih banyak perlindungan sehingga bisa menuduh-nuduh pihak lain sebagai jahat, berkonspirasi, dan tidak profesional eh malah didiamkan.
Penegak hukum sendiri seolah lemah akan penghayatan kebanggan korpsnya. Bagaimana mereka tidak mempertahankan diri jika dikatakan apapun dan sama sekali tidak terbukti. Perilaku hukum seperti ini yang memperlemah negara karena orang yang mempunyai akses pada pembela besar bisa melakukan apa saja.
Beberapa hal yang memprihatinkan hukum dan peradilan:
Tekanan dan intervensi yang besar, bukan soal kebenaran namun demi keamanan dan menyenangkan beberapa pihak bisa seseorang harus menderita atau masuk bui. Hal ini tidak boleh lagi di dalam negara modern dan berdasar hukum.
Hukum masih bisa diatur sesuai kepentingan,tidak bisa disangkal kalau hukum kita masih bisa diatur sesuai kepentingan. Jangan heran dengan berbondong-bondongnya hakim, jaksa, panitera, pengacara ngantri masuk bui. Ironsnya jual beli pasal dan perkara. Ada uang, pengaruh, dan bisa menekan, dapat mengubah keadaan. Kedewasaan bernegara dilihat dari sini, benar adalah benar bukan benar karena banyak teman atau uang.
Benar dan salah bukan atas asas hukum namun karena keberanian bersuara dan memberikan tekanan, misalnya membayar orang untuk demo atau merusak, dan itu sering terjadi di mana-mana, termasuk penghuni asrama yang tidak mau pindah, menempati lahan kosong dengan dalih sudah lama, dan banyak kasus identik lainnya.
Perlu dipikirkan jika pelaporan itu pasti hanya satu kebenaran, mengapa ada dua laporan dan itu semua diterima? Mengapa tidak satu dulu dan kalau memang tidak terbukti posisi berpindah, dengan demikian waktu dan tenaga bisa lebih efektif, jual beli kasus tidak terjadi dan peradilan bersih dan jujur bisa terlaksana.
Model peradilan selama ini hanya pihak kaya, punya kuasa, kelompok besar akan menang, dan jangan kaget kalau kelompok kecil dan ganda lagi, hanya akan jadi bulan-bulanan di peradilan. Apakah bisa berubah?
Pasti bisa asal ada kemauan dan kehendak baik untuk menata diri dan berubah menuju kepada kebaikan dan kebenaran yang hakiki. Tidak perlu pesimis karena banyak orang baik yang di Indonesia. Sebenarnya hanya sedikit orang jahat hanya karena punya corong dan kekuatan untuk mengubah opini.
Bangsa ini sudah terlalu lama di dalam keadaan seolah tanpa dikelola, semaunya sendiri, kebenaran tidak berdasar, namun falsafah pokoknya,di luar kelompokku salah, dan kalau bala selalu benar. Hal ini perlu disadari dan diterima sebagai fakta yang perlu diubah.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H