Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fadilah Supari Masuk Bui, Jangan Bilang Ulah Jokowi, tapi Tidak Perlu Ada Lagi

25 Oktober 2016   08:41 Diperbarui: 25 Oktober 2016   09:10 705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kembali khabar prihatin tersaji. Salah satu menteri era lalu masuk radar KPK dan akhirnya berujung di balik jeruji besi. Ini bukan soal basa-basi namun sungguh ironi, ketika usai memegang jabatan tinggi bukan berakhir bahagia, menikmati masa tua dengan nyaman, tenang, dan bahagia bersama keluarga besar, namun malah memilukan hati karena harus meratapi masa tua di balik jeruji bui.

Sering dikaitkan dengan perubahan penguasa, pembersihan rival pilitik, dan itu sangat wajar, sebagaimana peralihan Orla ke Orba, apapun yang berbau dengan pimpinan lama akan masuk penjara. Atau buku sekalipun menyebut dengan nada bangga penguasa terjungkal akan diselidiki dan dijadikan bukti sebagai subversi. Kali ini beda. Apakah tuduhan korupsi sama dengan subversi lalu? Nadanya beda.

Rangkaian panjang bahkan ketika penguasa masih ada di tampuk kekuasaan pun para pembantu, bakan pembantu utamanya satu demi satu masuk jeruji besi. Kecurigaan akan pemerintahan kini tentu susah diterima, akan berbeda jika dulu sama sekali tidak ada yang masuk peradilan, gaya hidup sangat sederhana seperti Pak Marie Muhammad, atau pak Hoegeng, tentu jelas kecurigaan dan tuduhan kalau pembersihan yang berbau penguasa lalu bisa diterima akal sehat.

Daftar panjang menambah para terpidana, dari eksekutif ataupun legeslatif, yang paling menyedihkan menteri, bahkan menteri akfit sekalipun, ada Surya Dharma Ali, ada Jero Wacik, ada Andi Malarangeng. Korupsi yang perlu dimusuhi jangan malah penegak hukum yang menjerat mereka. Selama ini para korup ini malah dibela mati-matian, dinyatakan berprestasi, direkayasa, dan selalu dielu-elukan, eh malah penegak hukumnya, dalam hal ini adalah KPK sering dicurigai sebagai alat kekuasaan, perlu dibubarkan, super body, dan sejenisnya. Aneh dan ironis ketika maling mendapatkan pembelaan dan yang mencoba membersihkan dijadikan sasaran tembak.

Selain yang sudah jelas-jelas terpidana dan masuk tahanan, masih mengantre dalam pemeriksaan dan masih ada dalam tagihan, yang bisa saja nanti dinyatakan mengemplang. Dahlan Iskan, setelah lolos dari KPK, kini juga sedang diperiksa oleh kejaksaan, ada juga mendagri, belum menpora yang masih ditagih barang yang belum kembali.

Mengapa dua periode dengan pemimpin yang gagah, besar, perwira tentara, lulusan terbaik, dan selalu santun itu banyak yang masuk tahanan?

Kepemimpinan yang memberikan keleluasaan untuk anak buah melakukan sekehendaknya sendiri. Jangan sensi dulu. Lihat saja, bagaimana dulu pejabat di masa itu bisa seenaknya bagi-bagi hasil dan dana, tidak perlu dituliskan lagi, karena ada kementrian dan rekan pengawasnya sejoli sama-sama masuk bui kog. Kebebasan yang tidak semestinya, sehingga malah berpesta pora.

Kepemimpinan yang memiliki slogan seribu teman kurang satu lawan berlebihan yang membuat tidak bisa bersikap tegas dan keras, sehingga mengharapkan adanya kesadaran belum bisa bagaimana eforia kebebasan masih kuat dan sikap tamak lebih menguasai. Sikap dan slogan itu memerlukan kedewasaan bersikap dan berfikir, ada dan tahu batas kepantasan bukan karena perintah atasan.

Sikap mental atas korupsi sebagai apes bahkan sebagai rezeki yang masih kuat, sehingga merasa tidak bersalah. Hal ini telah menjadi gaya hidup sehingga tidak merasa bersalah mendapatkan uang yang bukan haknya. Hal ini telah menjadi gaya hidup, bahkan tidak sungkan memaksa anak buah untuk mengumpulkan uang demi kepentingan sendiri.

Gaya hidup mewah tanpa menakar kemampuan yang masih kuat. Tidak heran orang tidak sesuai profilnya namun bangga menampilkan kekayaannya. Selama ini lingkungan tahu, namun abai, bahkan masih menjadi orang terhormat meskipun itu hasil nyolong. Coba pelaku korupsi itu diperlakukan yang sama dengan maling sandal, atau copet yang fotonya ditempel di tempat umum. Lagi-lagi dalih HAM, azas praduga tak bersalah selalu terdepan.

Sikap batin perlu dikedepankan bersama bahwa korupsi sebagai tindakan kriminal luar biasa sehingga orang tidak akan membela, melindungi, dan menyatakan korupsi sebagai rezeki. Rezeki itu hasil kerja keras, pemberian Tuhan atas prestasi, bagaimana jika tidak bekerja kog memiliki banyak harta?

Memusuhi perilaku bukan orangnya. Sikap yang sering berlebihan dan tidak proporsional. Pembelaan kemanusiaannya, namun sering justru yang dibela perilaku jahatnya, seperti sekarang yang jadi trend soal receh, ini bukan membela kemanusiaan malah malingnya. Orangnya tetap terhormat namun perilaku maling itu yang perlu dicerca.

Tidak perlu mencari kambing hitam soal penguasa ketika memang nyata mengambil uang yang bukan haknya, bagaimanapun caranya, namun memperbaiki keadaan agar tidak lagi terulang. Membela pribadi sebagai manusia boleh, namun bukan malah seperti mendukung perilaku menyimpang, malingnya.

Apakah akan bertambah banyak daftar petinggi ini yang masuk bui dan menikmati masa tua di balik bui  dan jeruji besi? Ini ironi bukan prestasi.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun