Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Konsep Beradab ala M Taufik

23 Oktober 2016   11:09 Diperbarui: 23 Oktober 2016   12:12 3447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

M. Taufik  menyatakan bahwa Jakarta perlu pemimpin baru yang beradab. Menarik adalah, konteks yang dibicarakan adalah pemimpin baru, berarti bukan gubernur saat ini, Ahok. Beberapa hal yang bisa dicermati mengenai Ahok. Pertama soal karakter atau cara komunikasi, gak perlu lagi, toh semua sudah paham. Dua, soal penertiban dan penggusuran, dua termin yang diyakini kedua kubu yang saya pakai sebagai titik tengah soal perseteruan ini, ini juga sudah menjadi jamuan setiap saat. Ketiga, soal SARA yang merembet ke penistaan agama, bukan pula itu, saya tidak mau mengupas tema ini. keempat, ini yang menjadi bahan bahasan mengenai maling anggaran.

Boleh orang berbusa-busa mengatakan soal ini dan itu, termasuk Pak Taufik, namun mengapa diam seribu bahasa mengenai maling anggaran. Apakah markup anggaran, nilep dana, atau minta ini itu demi kepentingan sendiri dan bukan kesejahteraan rakyat termasuk beradab? Tentu bahwa saya bukan hendak mendiskreditkan perilaku lama beliau atau soal adiknya yang sedang berkasus dengan keuangan dan KPK.

Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa beradab berarti memiliki sopan santun, berbahasa yang baik, atau telah tinggi atau maju tingkat kehidupan lahir batinnya. Menjadi menarik adalah ketika M. Taufik menyatakan demikian, bisa diartikan bahwa gubernur kini belum beradab?

Orang arah tentu ada alasannya. Selama ini Ahok digambarkan tidak beradab karena marah-marahnya Namun kalau bukan Ahok yang melakukan kog tidak dinilai sebagai tidak beradab? Contoh konkret Pak Ridwal Kamil bahkan sampai memukul. Bu Risma ngamuk di kantor dukcapil, dan itu tih memang harus. Apa pernah ada bapak yang bisa menepuk pundak anaknya yang menghabiskan uang spp untuk main PS di rental? Jika bisa itu memang idealnya dan luar biasa.

Atau penggusuran dan penertiban, di tempat lain kog tidak dinilai sebagai pimdanya tidak beradab? Atau lupa, atau karena beda kepentingan. Malah di Dolly jadi pujian? Beda kasus kah?

Paling menarik adalah soal anggaran dan kerja sama eksekutif dan legeslatif dewan yang penuh ketegangan. Ketegangan jika dewan berjuang mati-matian demi rakyat tentu semua sepakat dan di belakang dewan, lha selama ini? Malah mereka bancaan dana untuk mereka dan kolega sendiri, mana pernah mereka berjuang atay berkelahi demi rakyat? Pembelaan mereka berkaitan dengan rakyat hanya soal penggusuran-penertiban karena ada Ahok di sana. Sama sekali tidak pernah terdengar mereka bertahan dan berjuang gigih demi rakyat.

Korup sama dengan beradab karena pelakunya rekan sendiri. Jika yang melakukan pihak eksektif pasti akan dilaporkan ke mana-mana. Lucunya diam seribu bahasa kala adiknya masuk bui, dirinya sebagai ketua dan adiknya yang menerima uang berkaitan dengan kasus ini, apakah karena beradab sehingga masih menghirup udara bebas atau adiknya ditumbalkan?

Anehnya negeri ini adalah orang bisa seenaknya menerjemahkan arti kata, fraksi, kalimat sepanjang menguntungkan diri, kelompok, atau dukungannya sendiri. Berani dengan lantang mengutuk padahal diri sendiri melakukan. Jika  terdesak pasti akan ditemukan cara untuk ngeles atau membalik keadaan sebagai pihak lain sebagai sedang melakukan konspirasi.

Moral ataupun agama sebenarnya menjadi dasar yang paling kuat, sehingga orang punya malu ketika mengatakan hal yang dia sendiri tidak bisa melakukan. Konsep Jawa mengatakan jarkoni, isa ujar ra isa nglakoni,bisa bicara tidak bisa melakukan. Atau bahasa guyon, simbah dikeloni, isa kojah ra isa nglakoni, satunya kata dan perbuatan telah jauh dari politisi bangsa ini.

Berani karena banyak teman bukan karena kebenaran. Kebenaran memang tidak akan ditemukan di dunia ini, sepanjang masih bernama dunia, namun paling tidak yang paling mendekati, bukan soal benar karena banyak yang mendukung, meyakini, bukan membenarkan yang biasa, namun perlu mencoba membiasakan yang benar.

Agama dan pendidikan hati nurani perlu mendasar bukan semata-mata hafalan dan kutipan ayat suci, namun menjiwai hidup. Mana fakta, mana plintiran, dan mana itu hujatan, tuduhan, atau kritik. Selama ini menjadi bias, sumir, dan seenaknya karena agama sebatas kedok, lamis,pakaian yang tidak menjadi jiwa. Mana ada menghujat orang sambil memuji Tuhan Pencipta? Apa bisa?

Revolusi mental bukan hanya untuk rakyat, para murid sekolah, namun justru paling mendesak itu dari petinggi negeri dulu, mereka bisa mengatakan di media dan di dengar, bagaimana anak bisa membaca, melihat, dan menyimpulkan bahwa itu benar secara hakiki, padahal sama sekali tidak demikian. Sikap keteladanan bukan semata omongan kosong, namun dihidupi.

Bangsa ini kaya orang pintar, namun miskin orang yang cerdas dan bijaksana. Orang yang cerdas dan bijaksana akan mengatakan apa yang ia hidupi bukan semata konsep sebagaimana orang pintar pahami. Mengatakan antikorupsi namun masih nerima suap. Antikorupsi namun  masih menikmati uang tanpa pernah bekerja.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun