Sense of Crisis DPR, Sri Mulyani dan Abu Rizal Bakrie, Berlanjut Babak Berikut
Dewan ini entah harus dengan cara apa untuk bisa membuat mereka sadar, terbangun, dan tahu diri bahwa mereka seperti tidak berguna. Bagaimana ide mereka berkutat pada ranah pribadi, kelompok, parpol, dan sejenisnya. Soal rakyat dan keprihatinan negara mana duli bagi mereka.
Ide menambah dana talangan untuk kasus Lapindo dengan dalih agar tidak ada gejolak sepertinya perlu lebih jauh dikritisi. Ini bukan soal untuk rakyat, namun untuk pengusaha, benar bahwa pengusaha UMKM juga rakyat, namun rakyat yang memiliki pilihan, bukan rakyat biasa yang habis pengharapan bersama tenggelamnya harta benda, dan desa mereka. Lembaga yang mengurus mengatakan soal pengusaha iti urusan bisnis antara Lapindo dan pengusaha, bukan negara, seperti ketika berkaitan dengan rakyat kebanyakan.
Kepedulian dewan yang perlu dibangun. Bagaimana pemerintah jatuh bangun, dihajar kanan kiri dengan ide penghematan, pemotongan anggaran, pengetatan daftar belanja. Bagaimana dana sertifikasi kelebihan pun dipuntir-puntir dengan berbagai cara sehingga seolah negara memangkas anggaran sertifikasi. Pengampunan pajak sebagai salah satu sarana menutupi lubang anggaran pun dipakai sebagai sarana untuk membuat kegaduhan dan keresahan. Malah seolah negara menyasar rakyat kecil, padahal ide awalnya adalah pengusaha yang menimbun uangnya di luar negeri. Mereka diam saja tanpa mau ikut kerja keras, selain minta ini itu, dan kini malah berpikir sektarian, demi kelompok semata.
Sri Mulyani versus Aburizal.Dulu, konon salah satu pemicu promosi dan pilihan Sri Mulyani ke Bank Dunia adalah perselisihan dengan kubu Ical. Tidak heran perseteruan di dewan waktu soal Century begitu “ganasnya”, dan pimpinan kala itu lebih memilih dukungan politik golkar dan melepaskan Sri Mulyani ke Bank Dunia. Kalau tidak salah ingat, dalam perpisahannya ia mengatakan jangan ada lagi anak yang dibuang bapaknya. Kini kembali dan usai dengan “kesuksesan program TA, dihadapilah keinginan dana talangan untuk Lapindo dengan anggaran lebih dari 10 kali lipatnya. Dana yang dialokasikan 50-an M dan sudah disetujui, namun meminta tambahan menjadi 700-an M. Menkeu menolak tambahan itu, dan itu sudah sepatutnya.
Kasus Lapindo ini lebih cenderung persoalan perusahaan yang dipaksakan menjadi bencana alam dan menjadi beban negara. Tentu uang yang selama ini telah mengalir ke masyarakat dan itu memang tanggung jawab negara ikut serta, bukan berarti Lapindo malah enak-enakan terus dengan menengadahkan tangan ke negara. Mereka berdalih bangkrut namun mereka telah mencoba kembali melakukan pengeboran? Perlu diingat bahwa roda sudah berputar, angin sudah berbalik arah. Pemerintahan berganti. Kini bukan pemerintah yang mudah digertak dengan soal dukungan politik abal-abal seperti yang lalu. Pendekatan yang dilakukan Lapindo sama pada pimpinan negara yang berbeda. Ini jelas ada pada Ical melalui dewan tentunya.
Dewan harusnya memikirkan rakyat, bukan semata kelompok dan golongan saja. Bagaimana justru seharusnya mereka menekan Lapindo untuk segera mengatasi kesulitan demi kesulitan baik warga di sana, pemerintah yang harus terus menerus memberikan talangan, ingat soal subsidi BBM Papua saja sudah ribut, kalau talangan ini seolah diam. Ingat meskipun namanya talangan belum tentu semudah membalik telapak tangan menagih pada model pengusaha seperti ini. alokasi yang ada bisa dialihkan untuk keperluan mendesak kesejahteraan rakyat, pembangunan infrastruktur yang memang menjadi target utama, jangan nanti meleset karena ada untuk macam-macam, menyalahkan pemerintah lagi.
Sikap kritis dewan mana kalau bicara anggaran kog malah minta tambah, sedangkan di pihak lain banyak yang dipangkas dan direvisi ulang. Aneh dan lucu pola pikirnya. Bagaimana belanja, pembangunan, dan anggaran lain bisa minta dihemat, namun untuk memberikan hutang pada rekan bisa minta tambah.
Dewan sudah semakin memalukan dan tidak lagi tahu batas kepantasan. Bisa nyinyir ke mana-mana, namun soal yang mendasar mengenai pembangunan negara mereka lupa. Ini soal tabiat dan pola pikir yang memang sejak awalnya buruk. Dalihnya pengusaha juga rakyat yang perlu dipikirkan, lompatan logika yang patut ditertawakan, di balik itu siapa, bukan soal UMKM yang seolah suci dibela, didampingi agar tetap bisa kembali eksis, namun siapa yang lebih diuntungkan? Dewan ini maaf bodoh sehingga seolah rakyat itu sebodoh mereka dengan argumen yang lompat seperti ini.
Pemerintah kerja keras, dewan kerja malas, eh malah masih mikir yang lain-lain. Menkeu untung tidak mudah digertak dan berani menyatakan 54 M sebagaimana awal disetujui bersama. Bangsa ini telah lama dihuni pendompleng mau ikut enaknya, kalau susah enda,menghindar, dan bahkan menimbun di luar negeri.
Saatnya negara bersih-bersih, dan itu bukan hanya tugas negara dan pemrintah saja, namun seluruh anak bangsa termasuk dewan yang katanya terhormat itu. Waktu untuk membangun yang sejati bukan hanya wacana dan kata semata.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H