Tiga, tata ruang perlu diatur oleh negara dan daerah dengan lebih bijaksana dan zona pangan jangan tergantikan untuk pabrik. Lihat saja seluruh tanah subur di Jawa sebagai sentra padi sekarang berganti dengan beton dan gedung pabrik, gudang, perumahan, jalan tol, jalan lingkar dan sejenisnya.
Empat, pendidikan untuk tahu berterima kasih bukan sebatas ungkapan dan kata-kata, namun sikap batin. Bisa merasa bersalah dan berdosa ketika membuang makanan apapun alasannya. Tentu bea konteks ketika bau, basi, atau beracun lho.
Siapa yang bertanggung jawab?
Keluarga. Di mana keluarga harus memiliki sikap batin yang baik soal makanan ini. Keluarga membina diri untuk menghormati penghasil makanan hingga kesadaran itu adalah Berkat Tuhan. Mengajak anak-anak mengerti betapa panjangnya sebulir nasi di atas meja itu sampai ke sana, ada petani dan buruh tani yang mencangkul, menanam, merawat, memanen, menjemur, ada penggilingan padi yang membuat gabah jadi besar, ada pedagang, dan akhirnya siapa yang menanak itu. Demikian juga soal sayuran, daging, ikan, dan seterusnya.
Masyarakat. Selama ini kalau mahal teriak-teriak, tapi mana pernah berpikir untuk gaya hidup hemat. Sederhana saja, berapa banyak lombok yang terbuang karena sambel pecel lele di satu warung. Itu realitas kita yang boros akan bahan pangan. Ingat pas mahal saja. Sikap batin masyarakat yang mendasari semua.
Negara-pemerintah. Melalui revolusi mentalnya perlu memberikan penekanan penghormatan pangan ini. sikap abai yang dinilai sepele, kecil, dan seolah sangat tidak signifikan, namun inilah sikap batin mendasar. Termasuk penghormatan kepada Pencipta sudah teraplikasi di sini. Negara juga berperan dalam menata lingkungan dan tata ruang sehingga tidak mengorbankan tanah untuk perusahaan yang sebenarnya bisa dialihkan di lahan yang tidak produktif tentunya. Apalagi jika itu berupa relokasi kantor pemerintahan. Sangat disayangkan.
Pendidikan. Pendidikan bukan semata soal kurikulum dan menghafal ini itu, namun bagaimana anak bisa hidup dengan sikap batin yang baik, salah satunya bisa tidak menyia-nyiakan berkat berupa pangan ini.
Hari pangan bukan semata seremoni namun bagaimana perubahan sikap batin atas pangan jauh lebih penting. Perubahan itu perlu kesadaran.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H