Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jokowi, Madame Tussauds Tidak Perlu yang Ganteng, tapi Prestasi

13 Oktober 2016   17:13 Diperbarui: 13 Oktober 2016   17:26 2032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jokowi, Madame Tussauds Tidak Perlu yang Ganteng, tapi Prestasi

Menarik ketika museum Madame Tussauds hendak memajang patung lilin Presiden Jokowi. Ini orang kedua Indonesia, usai Bung Karno yang dipatungkan. Kedua tokoh beda zaman yang mendapatkan penghargaan internasional.

Untung bukan Ahok, sehingga bisa menjadi masalah berkepanjangan, yang bisa ditarik ke soal aseng dan dukungan dari luar untuk DKI-1. Meskipun ini soal bukan politik, tapi tahu sendiri budaya othak athik gathuk,Indonesia ahlinya.

Jokowi sebagai presiden yang dicela sejak pra pilpres sebagai wajah ndeso,bahasa Inggrisnya pun dicela sebagai Jawa banget, ketika pertama ada pertemuan internasional, padahal pujian membanjir, bahkan soal kancing jas pun dijadikan bahan keributan. Cara jalan dengan istri yang tidak seperti presiden sebelumnya. Eh   yang dipilih bukan yang ganteng dan rapi bahkan senyum pun diukur.

Kesederhanaan Jokowi. Apa yang dikehendaki museum sebagai representasi dari hasil survey adalah profil Jokowi yang mengenakan pakaian kebesaran ala Jokowi yaitu celana hitam dan kemeja putih digulung hingga lengan sebagai simbolisasi kerja. Bagaimana apresiasi dunia internasional saja mengakui, mengapa sih dalam negeri yang jelas-jelas memerlukan tandatangannya untuk menerima gaji, nynyir terus yang direpresentasikan melalui duo F, yang lebih banyak nyinyir dan kerja.

Prestasi bukan soal ganteng, ingat pilkada Jakarta perlu belajar dari pengalaman ini, dunia internasional tidak melihat cakep, gagah, ganteng, atau rapinya, namun prestasi. Jika soal ganteng dan cakep tentu pihak museum dengan cepat akan ematung lilinkan presiden keenam. Nyatanya bukan. Jelas bagi pihak yang menjual ganteng di pilkada Jakarta untuk siap-siap mengubah pola pikirnya.

Dunia internasional mengapresiasi prestasi nyata bukan semata pencitraan. Kini bisa menilai siapa yang pencitraan atau benar-benar bekerja. Tidak ada yang bisa mengatakan pihak museum dibeli, jika orang Indonesia atau pihak atau lembaga di sini membuat pernyataan ini itu, biasanya akan dikatakan dibeli. Apa akan ada juga yang mengatakan hal ini? Jika iya, memang yang perlu dipertanyakan kualitas yang menuduh itu.

Mengapa Jokowi dan bukan SBY. Jika soal fisik dan badaniah akan tentu  orang dan pihak museum memajang SBY lebih menjanjikan, namun bukan itu yang dijadikan tolok ukur. Apa yang dilakukan Jokowi lebih terasa dan memberikan hasil daripada hanya sekedar retorika, wacana, atau konferensi via medsos.

Merakyat. Dunia mengakui Jokowi merakyat yang selama ini dituduh pencitraan, harapannya dengan patung ini mengingatkan anak bangsa yang belum sadar untuk mengakui bahwa memang presidennya kali ini Jokowi yang merakyat itu. Perlu dihentikan soal hujatan kalau menyaksikan Jokowi yang lepas dari pengawalan dan malah dekat ke rakyat, tidak perlu meremehkan kemampuan paspampres juga.

Anti korupsi. Nah ini yang jelas telak menghantam presiden sebelumnya promosi dan iklan katakan tidak ternyata gaungnya tidak didengar dunia internasional sebagai fakta. Era inilah diakui bahwa korupsi benar-benar diatasi.

Presiden yang masih dituduh ndeso,pencitraan dengan kerja kerasnya itu ternyata dipilih museum dari luar negeri. Baru orang kedua, dan itu pun satunya Bung Karno yang tidak ada lagi meragukan kualitasnya. Kalau meragukan Jokowi juga meragukan Bung Karno, bagaimana bisa ketika ada capres saja memirip-miripkan diri dengan sosok Bung Karno, cara pidato, berpakaian, dan kutipan-kutipannya dipilih untuk kampanye. Fadli Zon perlu belajar dari sang junjungannya agar tidak asal saja mencela.

Saatnya bangsa ini bangga akan pemimpinnnya. Kalah pilkada, kalah pilpres itu bagian utuh demokrasi, tidak perlu berlebihan sehingga apapun yang dilakukan sebagai sebentuk dengki bukan kritik. Kritik itu mengandung solusi, jika dengki itu apapun yang dilakukan salah. Berbeda itu bukan musuh dan salah kog, masih bisa saling melengkapi. Kritik itu harus sepanjang ada dasar dan tidak asal saja.

Apakah “membeli” ketika bisa mengalahkan Lionel Messi, Donald Trump yang dipuja Setnov dan Zon itu, juga Hillary Clinton. Ini prestasi yang layak diapresiasi dengan baik.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun