Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Lulung, Dewan Independen Lagi

12 Oktober 2016   06:53 Diperbarui: 12 Oktober 2016   08:33 1462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Usai Fahri Hamzah jadi pimpinan dewan pusat dari independent, ketua DPD indipendent, kini DKI Jakarta pun punya pimpinan dari jalur perorangan. Duung mendukung pilkada DKI dan perpecahan P3 yang belum usai ternyata membawa berkah bagi H. Abraham Lunggana.

Lulung yang paling keras menolak Ahok dengan berbagai cara, pelaporan ke bareskrim, ke KPK bahkan hendak rutin hadir di gedung KPK sebulan dua kali, lewat jalur politik dengan berbagai model, ternyata kali ini malah serba sulit posisinya. Soal RSSW, perselisihan dengan BPK, reklamasi merupakan modal kuat yang lagi-lagi kandas.

Melawan Ahok dengan mencoba menjadi rival di dalam konstelasi secara fair dalam pertarungan di pilkada melalui berbagai-bagai parpol, hingga lintas parpol dan ideologipun dilakukan. Kembali istilah gagal maning gagal maning.Demokrat, PPP, PDI-P, pun didatangi untuk melamar jadi calon, untung relawannya yang bergerak pun ternyata tidak membawa kepada posisi yang bisa menjadi salah satu bakal  calon di pilkada DKI.

Perpecahan di kubu PPP membawa dua arus utama dukungan. Satu kubu Romi yang mengawal Agus-Silvi dan yang kedua, kubu Djan lebih mendukung Ahok. Posisi sulit bagi Lulung, bagaimana ia satu sisi adalah kubu Djan Faridz, yang mendukung “musuh” abadinya. Sisi lain yang tidak mendukung Ahok alias sama pilihan politiknya namun kubu yang berbeda. Menarik adalah sikap yang akan diambil Lulung menjadi simalakama baginya.

Pilihan sulit bagi Lulung. Mendukung Djan Faridz yang ia bela mati-matian selama ini dan bahkan pernah dapat angin segar dari sang ketum Djan ia sebagai salah satu bakal calon bersama yang lain, salah satu lho. Pihak Romi justru mengatakan nilai jual Lulung  tidak cukup untuk pilkada DKI. Pilihan yang sama sekali bukan pilihan karena sama-sama tidak membuatnya nyaman.

Perselisihan panjang dengan Ahok semua telah paham. Mulai soal ucapan sebagai eksekutif dan legeslatif, saling serang soal UPS, ini sejarah panjang bahkan sebelum Ahok gubernur. Ditambah lebih panas dan gerah ketika Jokowi memberikan hibah jabatan kepada Ahok. Paling keras dan lantang bersaman saudara kembar siamnya si Taufik selalu saja  mengeluarkan pernyataan Ahok pasti salah. RSSW, UPS, reklamasi, penertiban-penggusuran, PKL, terutama Tanah Abang menjadi bahan bakar untuk menohok Ahok. Semua amunisi tidak mempan.

Ketika angin makin kecil dan laju layar makin melambat, masih ada harapan bersama barisan sakit hati lain mendukung yang paling getol ada pada kubu berseberangan seperti Yusril kemudian datang Rizal Ramli yang terlempar dari istana, ada juga Yusuf Mansur, yang dipikir bisa sebanding dalam “melawan” Ahok dengan kesumat yang membara, usai Si Santun Sanusi terborgol oleh KPK, tidak lagi punya gerbong harapan. Munculnya gerombolan kekeluargaan (gak sah sensi sudah lama bubar juga), ada sedikit angin sporadis, didukung video kanak-kanak elit PDI-P menambah sedikit semangatnya. Hancur berantakan kala PDI-P pusat bahkan Mega ikut mengantar ke KPU. Harapan masih ada setitik melalui dua poros, Hambalang dan Cikeas, ternyata sama saja.

Lebih tragis ketika P3  mendukung calon penggembira, kubu sebelah di mana Lulung berada malah menabur angin berlawanan dengan laju Lulung. Sudah hancur porak poranda, angin pun berbalik arah.

Kecerdasan membaca arah angin politikus. Politikus perlu belajar dari ahli pelayaran rakyat. Mereka tahu dengan baik angin mau ke mana. Belum lagi politik di Indonesia yang masih lemah etika dan pilihan moral, bagaimana tidak kemarin dihujat habis-habisan eh besok berpelukan melebihi teletubbies. Ini realitas yang harus diterima belum bisa berpolitik yang beretika dan bermartabat. Benar bahwa poolitik itu cair namun bukan cair berak kucing yang tidak berharga. Tetap ada prinsip yang tidak bisa dilampaui yaitu soal ideologi. Kita belajar dari negara maju, bagaimana sangat jarang ada pemimpi di sana berpindah partai atau dukungan, karena apa? Mereka memiliki ideologi yang menjadi roh perjuangan. Ini bukan politik, namun politikus,arahnya bukan soal partai namun ketum mau membawa ke mana arah pelayaran politik mereka.

Permusuhan”yang ia ciptakan sangat kekanak-kanakan. Taufik aman, kalah menang paling di dewan atau masuk kurungan, tidak masalah. Edi Marsudi jelas lebih enak, kalah menang tetap ketua dewan. Posisi Lulung ini kalah menang malu yang ia dapat.

Salah langkah dan tidak matang malah membuat semua kacau. Lulung yang mencoba peruntungan dan ada pada posisi strategis, eh malah kini terjepit seperti tidak lagi punya pilihan. Istilah Dono almarhum maju kena mundur kena. Dan posisi independe lumayan keren. Tidak jadi gubernur lewat jalur mandiri bisa jadi anggota bahkan pimpinan dewan mandiri. Kalau rapat fraksi ikut fraksi mantan juga tidak salah.

Tinggal bagaimana ia akan memilih, konsisten melawan Ahok dengan membelot pada mentornya, termasuk di dalam bisnis, atau mau malu untuk mendukung Ahok. Ingat sudah hutang kuping lho.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun