Demokrat dengan calonnya malah seolah  ribut cari panggung masing-masing. Paling miris termasuk elit partai bahkan Pak Beye sendiri, seperti enggan panggung berbagi dengan sang putera. Salah satu yang paling menonjol mencari panggung adalah Roy Suryo.
Roy Suryo dengan Kisahnya
Berbalas pantun dengan Ruhut, salah satu babak yang  paling menarik. Kali ini perbedaan pilihan soal dukungan pilkada membuat mereka saling berbalas pantun laiknya pengantin Betawi. Satu mengatakan sudah tidak dianggap di Demokrat, sedang Ruhut membeberkan bagaimana kegagalan demi kegagalan Roy, jika mau jadi ketua tim pemenangan Agus-Silvi.
Apa yang hendak diraih malah seperti orang main panjat pinang, mau panjat malah akhirnya melorot lagi, mau naik melorot lagi, dan itu berkali ulang. Mau kritis eh malah kebanting. Beberapa kasus yang disebutkan Ruhut, soal naik pesawat yang diusir namun menolak, akhirnya diusir penumpang lain. menteri, nyaleg eh tidak jadi, minta PAW alasan kurang mendasar, dan paling payah membawa balik aset negara. Dua tahun kemenpora tersandera oleh persoalan ini sehingga penilaian BPK terhambat.
Kemarin mau mengritik pemerintah dalam hal ini Pak Jokowi, eh malah salah dan ternyata itu budaya lama yang tidak ia pahami. Apa artinya? Ia salah dalam bersikap untuk mencari panggung. Maunya bisa eksis eh malah terjungkal.
Terbaru soal google dan Ahok, ia sebagai ahli telematika yang paling ia banggakan, naga-naganya juga malah  membuat ia tergelincir, tidak fatal memang karena ia menyatakan kalau Foke dan Ahok sangat tidak sebanding dalam artian yang dikenal oleh mesin. Sekian ribu artikel berbanding sekian banyak  data pembanding. Menarik adalah bahwa hal itu belum tenu fakta. Dia meskipun berasal dari Yogya tentu pernah jadi menteri tahu dengan baik soal Jakarta.
Tentu sah-sah saja berpendapat demikian, namun tentu bukan soal suka atau tidak peran masing-masing ada kog, baik yang merencanakan atau melaksanakan. Semua memiliki peran dan itu tentu punya nilai sendiri-sendiri.
Apakah pas jika terlibat lebih dalam tim  pemenangan?
Tentu bukan untuk mendeskreditkan, atau melemahkan semangat, namun kehadirannya malah membuat seret bukan lancar. Apalagi kubu sebelah ada Ruhut yang sudah dengan seenaknya menyerang Roy sebagai  produk gagal. Keberadaannya tentu bisa menjadi masalah tersendiri bagi paslon.
Pertama, rekam  jejaknya sendiri. Ini alasan terbesar, sebagai menteri mencalonkan diri sendiri, di daerahnya sendiri lagi saja kalah. Kurang tenar apa coba? Yang jelas bukan masalah tenar tapi masalah memang tidak dipercaya untuk jadi wakil  rakyat. Soal sikap dan pemikiran bukan yang lain, mengenai keengganan memilihnya.
Kedua, rekam jejaknya waktu berkomentar. Sering berkomentar namun tidak substansial dan malah menjadi bahan ledekan. Sering terjadi dan bukannya belajar namun ngeles dan makin parah keadaannya. Kritis yang tidak pada tempatnya. Kurang empan papan kalau orang Jawa mengenal falsafah.