Semua tentu sepakat bahwa manusia telah banyak berhutang kepada alam. Alam semesta telah dirampas, diperkosa, dan dianiaya demi hidup manusia dengan berbagai dalih. Mana ada orang yang mampu menumbuhkan satu mili meter saja rumput yang diinjak-injak setiap saat. Profesor yang mengadakan penelitian bernilai ratusan juta pun tetap masih menanti sentuhan Tuhan untuk menumbuhkan. Kehidupan dan ciptaan hanya ada di tangan-Nya. Kita hanya memiliki hak pakai, bukan hak milik mutlak.
Pertanggungjawaban kita ada pada bagaimana generasi mendatang akan menerima limpahan petaka kita, atau masih layak pakai, itu tergantung cara kita memakai hari ini. Persoalan demi persoalan mengenai alam berpusat dari perilaku tamak, abai, dan sembrono manusia.
Plastik berbayar. Ini hanya sebentuk sarana, bukan tujuan akhir. Artinya apa? Bijak menggunakan plastik, styrofoam, dan sejenis yang tidak mudah membusuk dan bisa diurai alam. Tidak sebatas membayar dua ratus rupiahnya, namun sikap bijak dalam menjaga alam, salah satunya adalah dengan membatasi konsumsi, dengan membayar tidak lagi gratis seperti selama ini. Apa yang terjadi? Ribetlah, lupalah, toh cuma receh, dan sejenisnya. Padahal jauh lebih dalam dari itu, pertanggungjawaban atas pinjaman kita ke depan.
Kali bersih, ini menyangkut soal pilkada, bagaimana orang berebut merasa lebih berperan atau tidak berperan. Intinya bukan pada titik ini, namun bagaimana kolaborasi, kerja sama, dan bahu-membahu demi kebaikan bersama, tentu jauh lebih baik. Sikap abai dan kepentingan pribadi dan kelompok lebih kuat di sana.
Sikap abai dan tidak peduli, egoisme, dan tidak menghargai jelas dipertontonkan setiap saat. Lihat saja bagaimana nasi yang begitu besar diperjuangannya, mulai petani, pedagang, penjual nasinya, dan seluruh distribusi hingga petani yang bergelut dengan lumpur dan panas terik mentari tentu tidak kecil. Bagaimana orang dengan mudahnya membuang nasi dengan tidak menghabiskannya. Tentu akan dijawab dengan mudah, toh sudah dibayar. Bagaimana materialisme berkelindan dengan sikap abai dan tidak peduli. Benar sudah dibayar, namun jangan lupa membayar itu hanya sebagian kecil dari penghargaan. Uang tidak bisa menggantikan bagaimana sikap batin kita dalam memberikan penghargaan yang berpuncak pada alam.
Pemborosan BBM, bagaimana lingkungan ini penuh dengan kendaraan bermotor, listrik, pendingin ruangan. Dan itu semua perlu BBM. Bukan dalam arti kuno atau kolot atau antimodern, namun bagaimana bijak menggunakannya. Sepantasnya, tidak berlebihan, dan hemat bukan berarti pelit. Sikap ini yang perlu dibangun. Contoh konkret bagaimana orang yang kerja serabutan, merokok, seratus meter saja mengendarai kendaraan bermotor, dan main HP. Gaya hidupnya harus ditutupi dengan mencuri. Kesalahan demi kesalahan sehingga menumpuk bukan? Kan bisa hemat dengan jalan kaki, makin sehat, tidak merokok bisa berhemat bisa beli makanan bergizi untuk anak, dan HP hanya untuk bergaya, untuk apa coba? Tentu berbeda jika harus berkilo meter tentu efektif pakai kendaraan. Bijak bukan berarti anti, namun tepat guna dan efektif serta efisien.
Gaya hidup manja dan hedonis membuat bencana bagi alam. Hidup hanya dipenuhi dengan gaya hidup bukan yang esensial. Penampilan menjadi yang utama. Jangan heran tanaman kayu dengan lingkar keliling 100 cm sudah akan hilir-mudik orang menawar. Kayu itu masih muda, jelas kalau dipakai untuk bahan mebel sangat mudah hancur tidak lama. Lingkaran setan ekonomi masuk di sana. Bagaimana orang mencari untung dengan merugikan banyak pihak. Orang juga paham kalau kayu itu belum layak dipakai sebagai bahan namun karena polesan teknologi bisa nampak indah, soal kekuatan bisa diabaikan. Kayu ditebang dan jadi uang, soal air menggenang dan banjir tidak menjadi pertimbangan. Berkaitan soal gaya hidup saja, namun menakutkan jika memikirkan dampak jangka panjang, kayu sebesar lingkaran batang 20 cm saja masuk ruang produksi, jangan kaget hanya setahun sudah hancur.
Mulai dari diri sendiri dan lingkungan kecil. Bagaimana pola pikir yang harus diubah, toh hanya selembar tas plastik. Iya, jika semua orang berpikir demikian, jangan kaget kalau Indonesia penghasil sampah plastik terbesar kelima di Asia. Tabiat, kebiasaan, dan sikap seenaknya, yang awalnya pembungkus itu daun yang mudah didaur ulang alam, atau dimakan kambing, kali ini berganti, dan pola membuang tidak berubah, tidak heran sungai jadi tempat sampah. Jika kebiasaan untuk memikirkan aku tidak ikut berkontribusi untuk menciptakan sampah, minimal tidak membuang sampah sembarangan. Gerakan yang tidak perlu kampanye dan susah payah jika sudah menjadi gaya hidup.
Kita patut bersyukur Tuhan melimpahkan air bersih. Tidak susah untuk memperoleh baik untuk minum, mandi, atau kepentingan lain, namun sikap boros penggunaan air sering tidak kecil. Gosok gigi namun keran tetap mengalir, untuk apa coba? Jika seribu orang melakukan hal yang sama? Atau keran dibiarkan rusak meskipun hanya menetes, dan itu masalah sepele yang terjadi di mana-mana.
Pendidikan memegang peran penting ketika anak dididik, dibina, dan diajari untuk menghargai makanan, air, BBM, tidak memilih plastik meskipun indah dan murah, hal-hal tersebut dilakukan bukan hanya dikatakan. Bagaimana ide tidak memilih plastik namun setiap hari ada saja yang berbau plastik dipakai?
Salam