Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pihak-pihak yang Meleset Mengenai Pengampunan Pajak

4 Oktober 2016   06:36 Diperbarui: 4 Oktober 2016   12:03 4029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (Kompas)

Hari-hari ini banyak yang memuja soal pengampunan pajak. Keberhasilan bersama, kinerja yang sudah sekian tahun lalu, dan sebagainya. Namun awal bulan kemarin belum sebulan, nada pesimis masih berkeliaran, dan anehnya itu adalah pejabat-pejabat terkait. Ketika mendapatkan hasil seperti ini, semua seolah mendapat durian runtuh dan merasa ikut bangga dan berjasa. Penyakit lama yang perlu didobrak.

Wapres menyatakan ketinggian target penerimaan TA ini. Entah apa motivasinya, realistis atau politis saling beririsan tentunya. Namun yang pasti bahwa tidak elok seharusnya seorang nomor dua mengatakan hal itu, bisa saja berkelahi dan berdarah-darah seperti itu ketika di forum resmi, sidang kabinet misalnya, bukan ke media. Jangan dengan dalih keterbukaan informasi dan demokrasi kemudian bertindak naif. Apa juga akan dikatakan terus terang semua hal untuk konsumsi publik. Jelas saja tidak. Ini soal bijak, bukan soal demokrasi dan kebebasan informasi. Realistis boleh, namun bukan pesimis yang menjatuhkan mental dan semangat pelaku secara langsung.

BI, entah mengapa gubernur BI ini sering banget berseberangan dengan pemerintah. Memang mereka independen, namun bukan berarti bisa seenaknya berseberangan. Tentunya. Tengah bulan kemarin mereka masih pesimis soal TA ini. Bahkan pernah menyatakan sangat pesimis hingga asumsi pencapaiannya hanya 18%. Bagaimana menyemangati koleganya di departemen keuangan malah seperti menjatuhkan mental ketika belum berangkat perang. Kini ketika hasilnya baik langsung menyatakan sangat membantu nilai tukar.

Sekali lagi realistis boleh dan harus, namun tidak perlulah berlebihan seperti itu. Kembali ada ranah untuk berdiskusi dan jangan membawa keriuhan yang menjadi bola liar. Kritik itu harus namun juga perlu berdasar. Nyatanya ketika baik dan tidak seburuk perkiraan mereka, ke mana analisis mereka yang luar biasa tersebut? Jangan-jangan ada udang di balik itu? Apa itu? Ya kembali hati nurani mereka saja yang akan menjawab. Apa pantas analisis seperti itu keluar dari pejabat tinggi negara?

Australia dan Singapura. Jelas saja dua negara paling aman dan nyaman untuk menyembunyikan dana ini merasa keberatan dengan penarikan dana yang ada di negara mereka. Mereka tidak rela kan dana yang melimpah harus ditarik, barengan lagi. Kalau mereka masih sangat bisa dimaklumi alias orang luar yang tentunya tidak suka kalau Indonesia bisa maju, mengatur negara dengan mandiri dan bisa berdaulat dengan baik. Katanya tetangga toh mereka juga was-was. Mereka suka Indonesia yang lemah, tergantung, dan tidak maju.

LSM, Ormas, dan Dewan, beberapa pihak tersebut bersikukuh dengan berbagai alasan dan seolah paling benar dan paling memperjuangkan bagi negara. Entah mengapa selama ini maling itu tidak pernah mereka kritik atau anggaran yang lolos ke mana-mana tidak pernah mereka demo, namun ketika pemerintah mencoba, ingat mencoba menambal kekurangan dana, eh malah bukan dukungan malah hujatan, tuntutan, dan halangan yang begitu kuatnya. Ini hanya salah satu cara dan upaya yang sebenarnya sudah juga dilakukan, dilakukan negara lain, dan mereka toh bisa.

Kritik itu boleh, namun tentu dengan memberikan solusi, bukan hanya asal berbeda dan bukan sikap membangun. Kritik itu harus jika memang memberikan jalan keluar dan dukungan yang berimbang, bukan hanya selalu melihat kekurangan. Pengkritik pasti akan pernah memuji, beda dengan penghujat yang tidak akan pernah memberikan pujian atau apresiasi.

Analisis meleset itu boleh kalau analisis anggota Kompasiana. Kalau pejabat tinggi negara seperti gubernur BI ini, apa kurangnya coba? Data melimpah, ilmu jelas, apalagi coba kekurangannya. Satu saja kemauan berpikir positif. Naga-naganya lebih memilih main politik daripada profesional soal finansial. Hal ini bukan sekali ini ditampilkan Gubernur BI.

Menampilkan penyakit lama kembali terulang, ramai-ramai merasa ikut berjasa, merasa ikut memberikan andil, dan merasa ikut terlibat akan keberhasilan, padahal sekarang ini semua terekam dengan baik. Ngeles bukan lagi zaman digital seperti ini. Penyakit lama hadir lagi dalam bentuk yang sama di posisi yang berbeda. Dulu olahraga menjadi bancaan ketika mendapat prestasi, kalau kalah semua ngacir pergi. Kini politik dan ekonomi banyak pendompleng yang datang ikut bersenang-senang padahal belum lama saja masih mengatakan sebaliknya.

Sikap realistis itu masih mengandung jiwa yakin dan percaya semua bisa dicapai. Namun, pesimis dan tidak yakin itu sikap kalah sebelum bertanding. Tidak heran bangsa ini susah melangkah karena dihidupi oleh petinggi yang masih saja berjiwa kerdil. Mario Teguh sudah mundur, jangan sampai pejabat makin payah lagi memotivasi anak buah dan diri sendiri. Sikap ini bukan soal pilihan, namun memang jiwanya yang tidak mendukung kebaikan ke depan bangsa ini. Untungnya dua orang ini tidak jadi nomor satu di negeri ini.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun