Entah mau menamai apa komentar Eko ini, atau lupa dia kini bukan lagi pelawak bersama rekannya namun anggota dewan. Ia mengatakan kalau pasangan Agus-Silviana membuat tercengang. Iya tercengang kaget alang kepalang.
Sebelum nama ini keluar katanya akan ada calon dari langit yang akan menjadi kejutan. Iya benar kejutan yang luar biasa memang. Soal terkejutnya apa maknanya bisa berbeda tentunya.
Tercengang bukan terkagum-kagum namun nuansa kaget, terkejut, dan kaget sangat tidak menduga dalam artian, apa tidak tergesa-gesa, dan tidak ada yang lain, serta ada apa di balik ini semua?
Tergesa-gesa, soal yang akan dibantah dengan berbagai dalih dan alasan. Kerja lima tahun bagi parpol namun bisa mereka kebut dalam hitungan jam. Bukan hari lho, jam. Meskipun akan dikatakan radar kami telah bergerak berbulan lalu, apa iya? Mbah Google pasti akan bisa menjawab hal itu tidak lebih dari lima bulan. Apa tidak tergesa jika demikian? Jelas saja tergesa-gesa. Mana mungkin bukan tergesa-gesa kalau tidak lebih dari 3 x 24 jam.
Apa tidak ada yang lain, jelas saja banyak. Ada H Lulung, Yusril, Ibas, Yusuf Mansur, dan banyak lagi. Kasihan bukan yang sudah ke mana-mana, pontang-pantng daftar partai apapun yang buka pintu, silaturamhi, klaim, mendirikan relawan apapun bentuknya. Ataupun namanya. Mereka jelas sudah pontang-panting dan keluar dana banyak. Ada juga putra nomor satu Indonesia, Ibas yang telah lama hidup dalam lingkungan politik di Senayan, jabatan mentereng sebagai Sekjen partai dan juga ketua fraksi. Mumpuni bukan?
Ada apa di balik ini?
Jelas saja panik karena PDI-P yang digadang-gadang membawa calon lain mereka bisa bernafas lega dan mengusung siapapun bisa menguntungkan mereka. Ini berkaitan dengan poin tergesa-gesa karena memang terpojok dengan pencalonan PDI-P.
Ingin membangun trah melalui Agus. Hal ini bukan masalah kecil karena toh Demokrat sendiri segan, malu, dan tentu tidak ingin dicap haus kuasa, meskipun tidak ada bedanya. Tidak heran kemudian muncul perselisihan dari mana muncul nama Agus.
Kualitas Ibas yang diragukan oleh bapaknya sendiri. Suka atau tidak, toh terpampang, tiba-tiba orang di militer tidak ada masalah namun langsung dicabut, sedang ada yang sudah matang di politik ditinggalkan. Alasan akan dibully soal umur, toh masih jauh lebih banyak yang muda kog.
Pak Beye yang masih ingin berkuasa, ini tidak berlebihan, bagaimana beliau sering melakukan kritik dan mengritisi pemerintah dengan tidak wajar. Seolah beliau memimpin dengan gilang gemilang, sedang pemerintah kini tidak bisa apa-apa. dengan posisi Agus bisa terlampiaskan.
Kegagalan parpol. Coba mana ada parpol tidak malu berebut orang yang bukan kadernya, malah ada ancaman untuk memecat kader coba. Ini kan aneh luar biasa, apalagi masih berkarir dengan baik di tempat lain.
Kaderisasi bukan prioritas parpol, yang penting kursi.Tidak heran parpol lebih suka menjual orang tenar, bisa karena artis, atau bahkan koruptor, yang penting tenar. Ini jelas logika keblinger ala parpol Indonesia yang tidak mau kerja keras.
Ideologi parpol itu hanya di atas kertas.Sama sekali tidak mengenal yang namanya ideologi, selain kursi yang mereka kenal. Itu tidak mengagetkan ketika mereka selalu berorientasi mereka sendiri, soal bangsa dan negara, nanti-nanti dulu.
Tiga paslon ini relatif bisa berimbang. Start yang sama, soal pasangan Ahok-Djarot yang memang incumbent, wajar saja punya nilai lebih, namun masih bisa disiasati dengan baik. Persoalan ada paspol pengusung dan timses mereka.
Komunikasi paslon yang baik.Mereka, parpol dan timses harus memberikan masukan agar paslon yang akan berbicara bisa memilah dan memilih tema dan apa yang perlu disampaikan. Jangan sampai blunder sebagaimana kemarin-kemarin. Ini bisa fatal dan menjadi bulan-bulanan “lawan.”
Mengekang reaktif dalam menghadapi serangan.Tidak bisa dipungkiri jika kampanye dan model pemilihan masih berkaitan dengan kampanye hitam atau negatif. Bagaimana paslon, timses, dan parpol bisa elegan dan bijak untuk menjawabnya.
Tidak lagi patut berbalas pantun yang buruk,mengritisi, mengritik, dan meluruskan itu baik-baik saja, namun perlu tahu batas sehingga tidak malah menyerang rival, sedangkan paslon sendiri tidak bisa lebih baik. Ini lah tugas timses dan parpol.
Namanya timses bukan malah menggagalkan. Pengalaman pilpres lalu membuktikan timses perlu bijak dan sabar sehingga lebih cerdas dan bijak, bukan asal-asalan yang memberikan pengaruh berkepanjangan. Hal ini perlu menjadi perhatian.
Kematangan dan pengalaman sangat menentukan. Jiwa muda bisa meledak-ledak. Waktu yang ada memang mepet, namun bukan berarti kalah sebelum berperang bukan? Bersiap dan menyediakan diri dengan lebih baik tentu akan membantu menentukan hasil akhir.
Jakarta dan Indonesia lebih baik menjadi yang utama. Kursi itu hanya sarana. Dan perlu diingat agar bukan malah menjadi tujuan.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H