Pilkada DKI makin panas ketika tiga paslon telah ditetapkan oleh koalisi parpol, tinggal menunggu pengesahan KPU. Hiruk pikuk dengan berbagai argumen dan dukungan terus saja mengalir.
Salah satu yang mengejutkan koalisi Cikeas. Paling jadi tada tanya karena yang diusung sama sekali bukan dari parpol dan masih aktif di militer, terlalu muda lagi. Tidak kaget ketika dua petinggi dan politikus kawakan menyatakan lebih mendukung Ahok-Djarot. Alasan memang tidak identik, namun tetap saja mirip. Ruhut mengatakan Agus bukan kader, meskipun sejak awal memang dukung Ahok. Di kemudian hari, Pak Hayono menyatakan mendukung Ahok-Djarot karena memang sudah terbukti.
Demokrat yang baru saja ultah ke lima belas, kalau anak sudah mulai abg, bisa saja labil dan bukan malah memilih dengan baik. Masih wajar, namun menyandang nama besar Demokrat, harusnya menjadi pioner untuk berjiwa demokratis. Sayangnya selama ini, hal tersebut jauh dari namanya.
Ibas mengatakan kader yang tidak mendukung calon parpol lebih baik mundur. Pernyataan cukup berani juga dari politikus muda ini. Kalau dihitung-hitung “harga” Ibas dengan “harga” Ruhut dan Hayono, lebih berharga mana coba?
Ibas, Politikus Senayan saja pengalamannya dan di parpol bukan kader rintisan namun karena ada klan Yudhoyono, coba merintis sendiri. Memang mentereng jabatannya, ketua fraksi, pernah juga jai sekjend, namun apakah sudah benar-benar teruji? Memang di dapilnya dia merupakan pemilik suara terbanyak, bahkan terbanyak dari seluruh anggota Senayan di periode lalu. Apa itu semua merupakan prestasi yang merupakan hasil jerih payah sendiri? Melihat rekam jejaknya sangat susah untuk mengatakan hal ini sebagai buah kerja sendiri. Artinya, jabatan itu hanya karena nama besar bapaknya.
Hayono Suyono, mantan menteri era Soeharto, lama berkecimpung di Golkar dan berpindah ke Demokrat. Malang melintang di Senayan baik melalui Golkar era lampau ataupun masa reformasi dari Demokrat. Ikut pula konvensi capres Demokrat yang tidak ada ujungnya lalu. Artinya, jauh pengalaman dan soal berorganisasi apa yang diperoleh dan ditampilkan, jika dibandingkan antara Hayono dan Ibas. Jalan panjang berorganisasi telah ia tempuh dan jalani. Meskipun prestasinya juga biasa saja, sama sekali belum ada gebrakan yang berarti dari tokoh ini.
Ruhut Sitompul, pemain sinetron, pengacara kelas atas, dan anggota dewan mirip dengan Hayono yang juga dari Golkar. Dukungan untuk Ahok dengan alih bahwa Agus bukan kader Demokrat, pemuja SBY dan Demokrat sejati ini harus berujung keluar dari Demokrat, jika mendengarkan ide Ibas dan beberapa elit Demokrat yang gerah dengan sepak terjangnya. Beberapa waktu lalu ia sudah dipecat dari koordinator juru bicara. Posisi yang cocok dengan pola komunikasinya yang asal itu, eh ternyata membuat banyak pihak gerah. Toh begitu ia masih menyatakan pihak-pihak yang tidak suka akan keberadaannya. Dan ia sering menglaim diri sebagai salah satu dewan paling banyak pemilihnya usai Ibas.
Apa artinya ini?
Jika hitung-hitungan dan kalkulasi matematis atau untung rugi, jauh rugi bagi Demokrat jika memecat dua orang senior ini, demi Ibas, atau Agus Hermanto, karena ada kaitan keluarga jauh. Kln Yudhoyono dan kerabat selama ini belum memberikan harapan cerah bagi Demokrat ke depan, apalagi diperparah dengan pencaguban Agus dan intrik selama pra pencaguban yang banyak kelucuan yang datang dan menguat. Jangan salah langkah hanya mendengar model ABS seperti Roy Suryo, atau Sarif Hasan, dan di balik diamnya Amir dan anaknya.
Demokrat itu masuk senjakala, mumpung masih ada kesempatan perlu hati-hati agar tidak hanya menjadi sejarah dengan menghantar presiden dua periode dan usai. Kekeliruan memilih untuk mengajukan Agus kemarin perlu dibenahi bukan malah diperparah. Sikap yang cerdas dan bijak hanya bisa dilakukan oleh politikus masak dan bijak.
Partai Demokrat yang bukan partai pejuang dan menjalani proses panjang untuk menjadi besar tentu banyak dihuni oportunis dan cari selamat saja. Perlu hati-hati Pak Beye agar bisa memilih dan memilah mana yang benar berdedikasi atau hanya menyenangkannya demi kepentingan sendiri. Termasuk mencari aman.
Rekonsiliasi atau islah perlu lebih dikedepankan untuk menunjukkan nama besar demokrat bukan hanya slogan semata. Ingat soal katakan tidak pada korupsi itu, eh mosok kali ini akan kembali yang sama. Demokrat malah menghianati esensi demokrasi itu sendiri. Berbeda itu perlu dikelola bukan untuk saling pecat.
Baru juga lima belas tahun eh malah sudah mau suram ke depannya. Pertaruhan besar pencalonan Agus ini. Fokus lebih baik ke sana, tidak perlu bereaksi berlebihan pada hal yang kalah penting. PAN, P3, dan PKB tidak memiliki banyak kepentingan, kalah tidak dapat apa-apa, menang pun tidak banyak untung bagi mereka. Demokrat itu mempertaruhkan segalanya, termasuk di dalamnya karir Agus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H