Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berbagi dan Sakit Perut

28 September 2016   08:37 Diperbarui: 28 September 2016   10:10 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Keberanian memberikan apa yang paling tidak kita inginkan memberikan kualitas pemberian kita. Hal ini tidak mudah dan tidak ringan, membutuhkan kekuatan dan keberanian. Mengalahkan diri sendiri dan kesenangan diri ada di sana.

Berbagi itu iklas, bukan do ut des.Pamrih, do ut des,memberi biar diberi, penyakit orang modern. Hal ini tidak sedikit kita lakukan. Demikian juga ketika kita berkaitan dengan Tuhan. Berderma agar mendapatkan kelimpahan dari Tuhan. Jika demikian, apa artinya demikian. hak prerogatif Tuhan untuk memberi atau tidak kita kelimpahan.

Sikap berpamrih tidak memberikan nilai, justru merendahkan kualitas pemberian itu. Berbagi bukan berdagang yang mencari keuntungan ataupun mencari enakan bagi pihak satu dan ada yang dikurangi pada pihak lain.

Berbagi dari kekurangan itu mungkin.Sering kita membagikan apa yang kita miliki secara lebih. Tidak jarang orang akan mengatakan mau berbagi bagaimana ketika kita saja masih kurang kog. Namun kita juga belajar banyak kepuasan jika kita mau memberikan dari kekurangan atau kesukaan yang kita miliki. Pas di asrama, ada teman meminta jatah makanan kecil yang paling saya sukai, dan selama sepekan belum tentu makanan kecil itu ditemui. Susah untuk mengatakan iya, sebelum menyadari, lah cuma makanan saja berat, apalagi soal lain.

Berat hati membuat makna berbagi menjadi berkurang. Mencoba dan berlatih ikhlas sangat membantu untuk mampu melepaskan.

Berbagi membuka jalan.Suatu hari usai donor darah, ada seorang ibu yang berkisah mengenai kedatangan ke rumah anaknya yang ternyata malah pergi, padahal tidak punya, ongkos, intinya dia minta uang beaya transport pulang. Uang di dompet, tinggal cukup untuk pulang saya sendiri dan  pas jika saya bagi ibu tersebut untuk pulang, (meskipun saya tahu itu bohongan), dan saya berikan begitu saja. Sampai rumah ada rekan yang minta bantu dan memberikan amplot tujuh kali lipat apa yang telah saya berikan kepada ibu yang membutuhkan itu.

Lebih baik ditipu dari menipu, tidak perlu ada pikiran sudah kena tipu, biarlah itu bagian dan pertanggungjawabannya dengan Sang Pencipta. Kita hanya berhak untuk menyalurkannya saja.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun