Mulai menghentikan politisasi di manapun, termasuk dalam bencana. Pemimpin yang tidak takut tidak populer berani melakukan banyak hal untuk rakyat, bukan nama baik dan citranya sendiri. Bagaimana pemimpin yang hanya memikirkan elektabilitasnya jarang berani tegas untuk menata aliran sungai, itu terjadi di manapun.
Tidak perlu mencari kambing hitam, apalagi menyatakan ini kehendak Tuhan, salah sendiri kog malah menyalahkan Tuhan yang sudah begitu baiknya. Semua salah dan harus bebenah bukan malah mencari celah untuk proyek lagi.
Permintaan maaf sebagai pemimpin yang tidak bisa mengelola daerahnya belum menjadi budaya. Paling  tidak koordinasi tidak ada, sehingga di daerah-daerah bisa melakukan apa saja, dan negara yang dituntut ketika ada banjir seperti ini.
Bencana itu sangat jarang terjadi yang bukan akibat perilaku maruk manusia. Lebih banyak ulah orang yang memaksakan kesenangan sendiri. Tahu bahwa itu kawasan resapan, karena menguntungkan bisa saja dicari-cari pembenarnya untuk diubah.
Jangan kaget dua puluh tahun lagi krisis pangan, karena sawah diubah jadi ruko, jadi perumahan, jadi kampus, atau jalan. Semua demi kesenangan manusia dan pemimpin yang mendapat fee di sana. Boleh saja mendapatkan upah, namun tentu tidak juga berlebihan dan tanpa memikirkan akibatnya untuk jangka panjang.
 Apa yang terjadi di Garut ini sebenarnya bisa untuk menjadi pelajaran bersama bagaimana bersikap dewasa di dalam pembangunan ini. Susah mengharapkan pemimpinnya, kita mulai dari diri sendiri sepanjang yang bisa kita lakukan. Misalnya tidak membuang sampah sembarangan, mengurangi plastik yang tidak perlu, menggunakan plastik berulang, menanam pohon seturut kemampuan dan lahan yang ada, dan banyak aktivitas kecil masing-masing.
Jika korupsi kecil tidak malu dan merasa bukan maling, melakukan tindakan kecil namun itu kebaikan perlu digalakkan. Kita bisa berbuat bagi negara yang lebih baik. Kurangi maklum namun berbuat aksi nyata.
Salam