Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Usai Ketua MK, “DPR”, dan DPD, Lengkap Sudah Penjara Tipikor Membuat Negara Sendiri

17 September 2016   19:01 Diperbarui: 17 September 2016   19:21 2055
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kembali bangsa ini menangis, setelah salah satu pimpinan tinggi negara ini tertangkap tanggan oleh lembaga sementara yang bernama KPK. Lengkap sudah mereka ang dikerangkeng KPK ini, usai ketua MK, lengsernya ketua DPR, dan kini ketua DPD. Menyusul para gubernur, menteri, dan para bupati, belum lagi petinggi BUMN dan anggota DPR-DPRD.

Menarik adalah DPD ini yang dinilai selama ini aman, tenang, dan jauh dari uang secara langsung ternyata masih juga bisa “main” anggaran. Ketua DPD disangka menerima uang karena “jasa’ dalam mengatur impor gula di suatu daerah. Apa yang perlu ditelusuri lebih jauh dari peristiwa ini?

Soal impor, mulai dari yang mendesak seperti daging sapi, beras, yang aneh dan lucu seperti garam, apalagi gula, ada pada pejabat, siapapun itu yang mendapatkan ucapan terima kasih dari para pengusaha. Tidak heran harga menjaga mahal tidak karuan karena permainan distribusi yang tidak langsung namun sangat mahal seperti ini. Pengusaha tidak akan  mau menanggung beaya untuk suap, uang ucapan terima kasih seperti ini, apa artinya? Ya konsumen yang menangggung dari harga yang harus dikeluarkan jauh lebih mahal.

Petral sebagai  sebuah lembaga resmi para pemburu fee ini ternyata ada di semua lini dan bidang perdagangan. Tidak heran ada saja usaha untuk membatalkan upaya kemandirian pangan. Mengapa demikian? jika mandiri berarti mereka tidak akan mendapatkan banyak tambahan penghasilan soal rakyat membeli mahal, petani tidak mendapatkan upah sebagai jerih payah mahal mana mereka peduli. Jauh ebih kejam daripada penjajah polah petinggi negeri ini.

Sore ini KPK membuka mata secara fakta, bahwa selama ini distribusi berbelit, mahal di ongkos, dan asal-usul tidak jelas itu permainan elit di pusat. Apakah mungkin pemegang kendali tingkat daerah dalam contoh kasus ini kepala Bulog tingkat provinsi berani menolak atau melapor kepada pihak berwajib? Susah untuk bisa bergerak.

Kog tega, itu ketika menyaksikan siaran sepanjang sore bagaimana sebenarnya OTT kali ini. membuat seluruh rakyat menderita dengan mahalnya harga-harga untuk keuntungan sekelompok orang. Tentu tidak sendirian bukan maling seperti ini, ada minimal dua pihak yang tahu dengan baik di jajaran penyelenggaran negara, bagaimana coba maling telah melembaga seperti ini.

Orang santun, halus, berkata-kata dengan tenang, tidak meledak-ledak belum tentu bersih juga ternyata dari budaya korup. Tentu kita masih ingat dengan model Anas, cara Sanusi, dan kali ini Pak IG ini pun senyum-senyum, seperti orang yang jauh lah dari perilaku seperti ini.

Tabiat yang telah membudaya.

Budaya suap, kolutif, dan koruptif seperti telah menjadi gaya hidup. Lihat bagaimana  cra kolega mereka selama ini langsung memberikan pembelaan, merasa itu hanya bentuk kecelakaan, dan apes semata. Bagaimana apes jika minimal ada dua pihak yang bermain bersama. Bisa jauh lebih banyak tentunya.

Sikap permisif. Bagaimana lembaga penegak hukum pun telah main bersama dengan para pelaku kejahatan. Tidak heran  pelaku maling kelas ini malah senyam-senyum, merasa dizolimi, dan bukan merasa melakukan kejahatan yang luas biasa.

Bangsa ini sakit, sehingga kebaikan malah dicela karena berbeda, sedangkan kejahatan dibela karena sesamanya. Sesama ini bisa soal suku, agama, atau pilihan politik. Kebenaran itu bukan karena label dan pakaiannya, namun kebaikan dna kebenaran sejati, universal, dan mendasar.

Pendidikan membeo, pendidikan memegang peran penting dengan mengajak anak didik paham akan masalah moral bukan hanya menghapal. Jika tahu moral, tentu menilai kejahatan itu perlu ditinggalkan bukan didekati karena menguntungkan.

Sikap tamak dan rakus karena penghargaan dan penghormatan dari masyarakat melihat kemampuan dan kekayaan  semata. Prestasi belum dinilai dari  kinerja namun kekayaan yang dimiliki. Bukan soal kekayaan namun darimana uang itu didapat. Selama ini masih tidak dipedulikan asal berlaku baik dipermukaan seperti murah memberi bantuan, berbicara halus, dan sejenisnya.

Apakah mau seperti ini terus? Pejabat negara bermuara ke penjara dan malah membuat negara di dalam penjara? Lengkap sudah dari rakyat jelata hingga pemuka negara, tinggal selevel presiden yang belum ada, dan harapannya janganlah ada jika itu. Bagaimana mau berkisah kepada anak cucu jika penjara negara lengkap ada presiden hingga rakyatnya di sana. Jaksa tidak kurang, hakim demikian juga, polisi, tentara, guru, dan semua ada.

Revolusi mental memang mendesak untuk dilakukan, bukan hanya program presiden namun seluruh bangsa. Pernyataan ketua KPK membanggakan ketika mengatakan bahwa kerja mereka bukan hanya kerja sendiri namun seluruh bangsa dan demi kemandirian pangan.

Dukungan penuh untuk KPK dan seluruh lembaga negara yang mau memikirkan keadaan negara dan bangsa. Rakyat sudah terlalu lama bersabar menyubsidi gaya hidup tamak pembesar, kali ini harus berubah dan berbenah.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun