Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pastor dan Politik Praktis, Mengapa Ada Larangan?

15 September 2016   11:35 Diperbarui: 4 April 2017   17:34 1117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Gereja Katolik memiliki  hukum Gereja yang bernama Kitab Hukum Kanonik, semua hal diatur di sana, seluruh dunia sepanjang menjadi anggota Gereja Katolik akan terkena hukum ini. Artinya apa? bahwa di manapun akan memiliki kebijakan yang sama persis. Tidak ada yang beda meskipun di pelosok Afrika ataupun di pusat di Vatikan.

Apa yang dilarang dalam politik oleh Gereja?

Satu soal parpol dan pribadi yang didukung oleh hirarkhi, apa itu hirarkhi? Saya jelaskan dulu biar jelas dan tidak bias. Hirarkhi itu adalah diakon, pastor-imam-rama-pater, di atasnya adalah uskup. Jadi hirarkhi ini ketika itu, diakon, imam, dan uskup. Mengapa dilarang? Karena mereka memiliki umat yang bisa saja nantinya akan terjadi polemik karena perbedaan pendapat dan dukungan. 

Contoh, si pastor suka akan pimpinan A, eh umatnya ada yang memilih B, pastor lain D,bukan seperti itu yang dimaui Gereja Katolik. Sejarah panjang Gereja Katolik yang lekat dengan kekuasaan ingat di Perancis, Iggris, dan Romawi sendiri membuat permasalahan berkepanjangan, jadi Gereja memang menjaga jarak.

Politik, sebagai seni dalam mengelola negara, Gereja tidak anti, maka juga mendorong umatnya untuk terlibat aktif, jadi beda lho, siapa yang boleh dan tidak itu. Umat yang hidup di tengah dunia berkewajiban membangun dunia, salah satunya dengan berpolitik. Gereja Katolok juga memiliki yang namanya Ajaran Sosial Gereja. 

Hal ini merupakan buah pikir paus sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik di dalam menghadapi persoalan sosial yang ada di dunia. Mengenai buruh, mengenai kemiskinan, semua dibahas di sana. Jadi tidak buta atau munafik soal keadaan dunia ini, karena Gereja hidup di tengah dunia. Suara kenabian dipakai ketika keadaan memang memerlukan hal itu, di level yang lebih sempit KWI pernah mengeluarkan Surat Gembala tahun 97 yang membuat heboh mengenai Golput itu juga pilihan. 

Apa ini bukan politik praktis? Iya politik paktis namun bukan mendukung dan menolak seseorang atau kelompok dalam sebuah kegiatan liturgi resmi, yaitu misa. Jika misa ada kata-kata pilih ini dan bukan itu, lapor saja ke Vatikan dan yakinlah pastor itu akan disuspen, ini bukan K namun dibekukan tugasnya, hingga waktu tertentu. Menyuarakan suara kebenaran di mana rezim kala itu sangat tidak lagi bisa didiamkan oleh Gereja. Saat itu sering diadakan diskusi-diskusi mengenai hal ini, namun di dalam Misa sama sekali tidak pernah dibahas, bahwa golput pun pilihan itu jelas diterangkan dengan baik bagi umat.

Sebuah kisah nyata, seorang walikota bersama-sama beberapa anggota dewan yang beragama Katolik meminta seorang imam untuk mengadakan Misa sebagai bekal rohani menjalankan tugas kedewanan. Beliau tidak mau memimpin pas di salah satu sudut dekorasi itu ada lambang parpolnya. Apa artinya? Dia tidak mau ada salah mengerti akan keberadaannya sebagai seorang imam dengan parpol itu, meskipun semua juga tahu kalau dia milih papol itu. Di sini bedanya.

Tidak akan pernah ditemukan ada imam/pastor/pater berkampanye di mimbar di Gereja untuk memilih ini dan itu. Imam ini juga manusia bukan malaikat yang bisa salah menilai dan salah memihak, bagaimana jika ia menyatakan di dalam liturgi resmi dan kemudian umat semua mengikuti dan ternyata salah? Apakah tidak bisa berabe. Ini yang menjadi catatan besar bagi Gereja untuk tidak mau memberikan dukungan atau mencegah umatnya untuk pada pilihan yang bersifat pribadi itu.

Media sosial bisa membuat bias bagi yang tidak mengerti mana yang tidak boleh dan mana yang boleh, ini menjadi perhatian terutama orang yang berada dalam lingkaran hirarkhi sehingga tidak membuat polemik, Gereja Katolik itu tidak mudah, orang Katolik saja, sering susah paham, apalagi yang bukan.

Perlu juga diketahui siapa orang Katolik itu, kalau memang politikus yang jelas ia bekerja sebagai politikus. Apa yang tidak boleh dan boleh itu juga sangat jelas dan susah dipahami  oleh umat Katolik sekalipun.  Jadi jika orang Katolik mengatakan dukung A, itu bukan berarti ia sebagai Gereja  Katolik, namun sebagai aggota boleh. Jika ada uskup mengatakan di perayaan Misa ayo dukung X jadi presiden atau jangan Y jadi walikota, lapor saja dan akan ditangani Vatikan.

Kalau orang Katolik mengatakan dukungan itu tidak berkaitan dengan Gereja sebagai institusi dan lepas dengan keberadaan Gereja. Gereja tidak akan memberikan dukungan atau larangan sebagai institusi.

Tulisan ini jelas sangat jauh dari memadai, diskusi tanpa saling mencaci jauh lebih penting dan rekan-rekan-rekan yang berkenan, baik awam atau umat,  exsim, ex-imam, pater-pastor-imam, atau yang mau menambahkan silakan. Artikel ini bukan mau memanaskan siapa-siapa, hanya berbagi pengetahuan sependek yang saya tahu.

Note: Istilah pastor itu di Gereja Katolik, meskipun Gereja Protestan ada namun bukan istilah yang resmi, mereka pendeta sebutannya.  Istilah ini menjadi penting sehingga tidak salah kaprah ketika ada pembicaraan.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun