Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ketika Amien Rais Off Side

13 September 2016   09:12 Diperbarui: 13 September 2016   17:42 6242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Era 90-an Filippo Inzaghi merupakan penyerang produktif dan hebat bagi Juventus, AC Milan dan juga timnas Italia. Bola apapun di kaki Pippo merupakan jaminan gol bagi timnya. Kecepatan, penempatan posisi, pergerakan tanpa bolanya baik. Sayang dia ini sering off side. Ngelesnya dia biasanya memprotes hakim garis, atau diving. Itu ciri Pippo di masa jayanya.

Kemarin, dalam sebuah kotbahnya Amien Rais melakukan offside, posisi yang tidak sepatutnya sebagai pemegang posisi apapun ketika menyatakan pandangan politiknya dalam sebuah ibadah. Ingat ini bukan bicara ibadah, tapi soal kepantasan. Satu hal yang ia nyatakan ketika berbicara soal pilkada, ia mengatakan jangan memilih pemimpin yang suka menggusur.

Baik, kita kupas soal satu kata ini saja, menggusur. Fakta benar bahwa ada penertiban, namun oleh pihak yang tidak sepakat itu disebut sebagai menggusur, hal ini jelas fakta yang dilihat dengan sudut pandang yang bertolak belakang, sah dan boleh-boleh saja. Inilah salah satu konsekuensi logis atas demokrasi, apalagi masih belajar.  

Menggusur atau menertibkan? Siapa lebih tepat memberikan makna ini? semua proses telah ditempuh, dan nyatanya semua lembaga negara mendukung dan tidak ada pernyataan kebijakan ini salah, berarti sudah bisa dikatakan sebagai sah, istilah menertibkan menjadi lebih pas jika demikian. Hal ini tentu memberikan konsekuensi logis atas sebuah kebijakan, ada yang harus pindah dan ada yang mendapatkan keuntungan atau manfaat. Berapa yang mendapatkan keuntungan, lebih banyak atau lebih kecil? Artinya demikian, nanti dikatakan komunis lagi jika tidak dijelaskan, siapa yang menjadi “korban” itu dan apakah lebih besar dari manfaat yang diperoleh? Ingat memindahkan pun diberi berbagai bantuan dan tempat baru. Soal lain, pelaksanaan di lapangan masih bisa ditelusuri dan tentu berbeda konteksnya.

Posisi yang tidak tepat, bahwa belum tentu jamaah yang mendengarkan itu setuju semua, lalu apa artinya? Bahwa ada orang yang terganggu ibadahnya, tentunya dari sekian banyak paling tidak ada satu yang tidak setuju dengan pandangan beliau di dalam berbicara politis tersebut. Alangkah bijak jika bukan bicara politik di dalam khotbah, namun bercerita soal agama dengan berjuta inspirasi tentu akan lebih bijak, mosok sekelas profesor kekurangan ide tanpa harus membuat orang terganggu ibadahnya, jika soal agama, hampir pasti semua sepakat, mana ada yang berbeda sudut pandang soal agama.

Lebih menyedihkan adalah, itu hari raya kurban, berkorban atas apa yang tidak diinginkan oleh manusia namun harus dilakukan. Coba mengorbankan sedikit ketidaksukaan saja enggan, apalagi mengorbankan hal yang jauh lebih besar dan berarti. Sejenak saja menghilangkan politik di sana, itu bukan soal yang susah dan besar tentunya.

Soal penggusuran, apakah hanya satu pribadi ini saja yang menggusur dan melakukan kebijakan ini? jika bukan, mengapa hanya Ahok saja yang menjadi sasaran? Hampir semua tempat dan pemimpin daerah melakukan hal yang sama, skalanya saja yang berbeda dan sorotannya juga tidak sama.

Apakah benar sudah berlebihan? Nyatanya MUI menyatakan hal yang demikian, lebih baik tidak bicara politik karena bisa menimbul polemik dan bisa terjadi perbedaan pendapat dan saling serang. Ajakan berbuat baik dan meninggalkan hal buruk jauh lebih bijak dan bermanfaat dalam kotbah. Hal ini tentu lebih bijak dan sudah seharusnya demikian.

Apa yang bisa ditawarkan oleh Pak Amien untuk menata Jakarta agar tertib, lancar, sungai bisa bersih, teratur, dan tidak timbul masalah lain? Menjadi menarik adalah apa tawaran yang lebih menyentuh akar masalah dan ada jalan keluar yang lebih baik, apabila ada satu saja orang yang bisa berbuat demikian, sudah pasti Ahok kalah, beda lho Pak, ketika panjenengan mengatakan pilih A, yang akan membuat Jakarta bla...bla...tanpa menyebut kekekurangan pihak lain. Menjual dengan mengatakan kebaikan jualan, bukan sebaliknya.

Apa bisa dikatakan tetap saja hidup di jalur hijau, di bantaran kali, dan memakai fasilitas umum kan demi kemanusiaan, ini juga tidak benar ketika merugikan pihak lain demi kepentingan pribadi. Berapa banyak keuntungan yang tersandera karena egoisme sepihak seperti ini? Apakah tidak bisa diatasi dan diperbaiki? Ini akan dijawab dengan "ah tidak begitu maksudnya".

Ingat tidak semua orang memiliki kemampuan mencerna dengan baik dan bijak, belum tentu para mafia perumahan liar itu menanti adanya sebuah dukungan apapun bentuknya untuk bisa membenarkan tindakan mereka. Jangan malah menjadi blunder yang merugikan banyak pihak dan kepentingan umum.

Bisa dan pasti bisa, soal pro kontra iya, nyatanya perkeretapian bisa baik, semua stasiun jadi bersih, rel teratur tanpa adanya rumah yang nempel lagi, benar bahwa hal ini berbeda, namun skala kecil ini menunjukkan soal kemauan dan kehendak yang kuat untuk mengubah keadaan itu perlu kemauan dan sikap berkorban.

Orang cerdas itu banyak, orang pintar apalagi, namun orang bijak dan memikirkan anak bangsa dan negaranya tidak sebanyak itu. Perbedaan bukan berarti permusuhan namun sebuah bentuk kepedulian. Bentuk perbedaan yang memiliki dasar bukan hanya asal berbeda dan memikirkan kepentingan sendiri.

Saatnya saling dukung bagi bangsa yang lebih baik. Usang dan lampau berbicara soal sektarian dan perebutan kekuasaan dengan segala cara.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun