Empat, semua profesi tentu dijalankan oleh pelakunya yang juga memiliki sisi pribadi, yang bisa saja bertolak belakang dengan yang dilakukan. Contoh, guru yang mencubit murid itu, kan tidak seluruh perjalanan karir guru itu terus mencubit, kadang orang tua jauh lebih banyak, mengapa yang disorot mencubitnya? Kurang proporsional dan oobyektif dalam menilai.
Lima, motivator, kata-kata motivasi, ataupun kalimat indah dari manapun asalnya adalah sarana untuk memperkembangkan kita, bukan katanya itu, orangnya, namun perkembangan kita yang penting. Perubahan sikap kita, bukan makna katanya, atau orangnya itu. Bagaimana dulu kita sudah begitu enggebu-gebu dengan kata-katanya namun sekarang menghujatnya? Apa bisa yang dulu itu menggerakkan sekarang menghambatnya? Apakah kata-katanya berubah? Tidak bukan, masih tetap super.
Enam, kita perlu mengendalikan paradigma kita, sehingga pola pikir kita tidak memaksakan apa yang ada itu harus sesuai dengan konsep, keinginan, dan harapan kita, ada saja halangannya dan tidak membuat kita sakit hati dan marah.
Tujuh, jika selama ini sudah termotivasi, terdukung, dan terinspirasi oleh kata-kata Mario Teguh, mengapa justru membalas dengan caci maki, hujatan, dan kemarahan? Apakah itu balasan dari orang yang pernah merasa terbantu?
Salah satu kaos menuliskan “HIDUP TIDAK SEMUDAH KATA MOTIVATOR” memang demikian, toh nyatanya sang motivator pun menghadapi masalah itu sendiri. Semua orang bisa menghadapi masalah, namun bagaimana mengatasi masalah dan bangkit kembali menatap jalan ke depan dengan bijaksana tanpa merugikan siapapun itu kualitas hidup kita.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H