Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menanti Tuah Amien Rais dan SBY untuk Yusril

11 September 2016   17:07 Diperbarui: 11 September 2016   17:22 2413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Meskipun dari tepi Rawa Pening, toh hiruk pikuk Jakarta dan pilkadanya juga terdengar. Usai PKS dan Gerindra memberikan signal cukup kuat untuk menyandingkan Sandi dengan Mardani, Yusril menyatakan didukung Amien dan SBY yang sudah bergerilya untuk mengajukannya jadi kandidat gubernur.

Tersisa beberapa partai dengan kursi yang tidak besar-besar amat, minus PDI-P yang bisa melakukan apa saja, P3 sebagai jawara dengan 10 kursi. PKB, Demokrat, dan PAN. Mau tidak mau mereka berkumpul atau mengikuti kelompok yang ada. Ini ideal dan realitis dengan dinamika yang ada.

Adanya tiga pasang yang paling tidak nyaring terdengar ini, membuat peluang Ahok untuk “dikerjain” asal bukan Ahok bisa diminimalisir. Posisi persaingan bisa berjalan sangat baik dan relatif lebih bisa diandalkan hasilnya.

Tuah Amien Rais dan SBY

Amien bisa membuat Gus Dur sebagai non pemenang pemilu menjadi presiden. Sangat piawai untuk melobi DPR-MPR kala itu untuk menjadikan almarhum Gur Dur sebagai presiden dan Megawati sebagai  pemenang pemilu menjadi wakil. Tangan dinginnya sudah sukses bukan, keadaan yang mirip dengan Yusril yang sama sekali tidak punya kursi di dewan, bisa menjadi penguasa Jakarta.

Pak Beye, juga melakukan hal yang identik, Demokrat kala itu hanya punya suara sangat kecil, bukan apa-apa dalam pileg, namun bisa mengalahkan pemenang dan ketum parpol besar. Lagi-lagi PDI-P dan Megawati yang harus menelan kekalahan, dan berujung perang dingin yang  hingga sekarang belum juga ada perubahan.

Jika benar sebagaimana pernyataan Yusril, rekor baru bagaimana parpol mendukung “pimpinan” parpol non kursi di dewan dengan pasangannya juga bukan orang parpol karena Yusril mengatakan antara Siviana atau Saefullah, keduanya birokrat tulen, dan belum masuk parpol. Luar biasanya Yusril yang  parpolnya tidak meyakinkan massa untuk memilih bisa didukung oleh pemilik kursi dua digit seperti P3.

Apakah benar dan bisa diyakini pernyataan Yusril ini, atau hanya politis semata?

U ntuk Pak Amien bisa saja demikian, melihat ketidakmauan memilih Ahok dan pernyataan-pernyataan selama ini memang sangat sukar untuk mendukung Ahok, atau mendukung pilihan PDI-P misalnya mengusung calon sendiripun susah mendukung. Demikian juga dengan Sandi Mardani, dia tahu persis susah untuk menang. Mengapa tidak Yoto yang sudah digadang-gadang? Susah dengan cuma dua kursi untuk  mengajukan calon, tentu P3 tidak akan rela, paling aan semua tidak memiliki calon, dan calon dari luar, untunglah Yusril.

Bagaimana Pak Beye? Parpol penyeimbang ini memang unik. Melihat kebiasaan Pak Beye yang melihat dengan cermat siapa yang paling berpotensi menang, ia tentu enggan mendukung Sandi-Mardani, Ahok juga enggan karena sangat bukan Pak Beye dan Demokrat banget karena cara komunikasinya. Namun entah mengapa di waktu yang berdekatan banyak petinggi Demokrat yang mengatakan Ahok bisa juga. Ini kasus yag berbeda, bicara soal Yusril, meskipun pernah ikut dalam gerbong kabinet Pak Beye, Yusril berkali-kali mengalahkan dalam persidangan dengan pemerintahan dan jajaran SBY. Tidak ada yang jelas politik itu, ada juga di sini.

Yusril dan Pemimpin Jakarta.

Menarik jika dua jawara membalikkan keadaan politik itu akhirnya hattrik dengan membuat Yusril menang di Jakarta. Perlu dicermati, apa yang dilakukan Pak Yusril selama ini sebagai pengacara. Memang sah dan itu kewajiban, tanggung jawab, dan profesinya yang sering membela klien yang berseberangan dengan pemerintah baik pusat ataupun daerah. Menjadi pertanyaan adalah bagaimana dia nanti sebagai eksekutif, pejabat publik, ketika berseberangan dengan orang yang pernah menggunakan jasanya, apakah bisa bersikap obyektif? Apalagi juga pernah menjadi pembela warga yang ditertibkan-gusur, padahal jelas itu keputusan pemerintah, dan memang keberadaannya melanggar UU, apa yang mau ia buat dengan itu?

Menarik juga ketika  kalibernya menteri, bahkan calon presiden, “merasa” level presiden dan nantinya dilantik oleh orang yang ia idamkan? Jangan-jangan nanti presiden pun diperintah, kan warga di provinsinya? Ini berlebihan juga, namun bisa terjadi.

Dinamika yang makin baik ketika banyak pilihan dan hanya satu atau dua. Lebih dari dua, sikap permusuhan tidak akan sekeras seperti pilpres lalu. Bagaimana pilpres lalu masih menimbulkan perseteruan yang sepertinya tidak akan ada ujungnya, jangan lagi diperparah dan diungkit luka itu, karena identik juga, jika hanya dua.  Keseriusan juga lebih terasa, bukan lagi asal bukan Ahok, namun ada alternatif yang lebih memberikan nuansa lebih baik. Satu orang berpikir, toh hanya satu, namun dilakukan beramai-ramai bisa jadi besar juga. Pilihan yang lebih banyak memberikan peluang memilih yang terbaik dari yang terbaik, bukan yang terbaik di antara yang buruk.

Masih ada waktu dan masih pula ada perubahan yang bisa terjadi. bukan tidak mungkin masih ada kejutan lain. dinamika yang juga bisa diikuti dari mana saja dan oleh siapa saja.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun