Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jika DKI-1 Penetapan Presiden, Parpol Tidak Perlu Pusing

10 September 2016   06:51 Diperbarui: 10 September 2016   08:01 1665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pilkada itu lebih dari lima ratus, namun tidak banyak yang menjadi kehebohan dan pembicaraan. Salah satu yang terpanas jelas DKI-1. Tarik ulur parpol, maju mundur calon, dan banyak hal lain lagi. DKI hanya punya gawe satu dalam  gubernur, karena mereka tidak mengadakan pemilihan bupati dan walikota sebagaimana daerah lain. DPRD- II juga tidak ada di DKI. Menarik ini, jika DKI itu ditetapkan saja, daripada panas berkepanjangan begini.

Apa yang terjadi jika DKI itu bukan pilihan namun, penetapan. Sekelas menteri muda, bukan menteri dan tidak masuk kabinet. Apa keuntungan sekiranya penetapan?

Satu, hemat anggaran karena tidak perlu ada dewan, nyatanya selama ini juga terbukti Jakarta malah dibuat bancaan dewan, bukan diawasi dewan. Dua, tentu jauh lebih sederhana birokrasi dan pencapaian pembangunan daripada jika ada dewan. Tiga, tarik ulur parpol yang lebih berat dan banyak bernuansa tawar menawar uang dan proyek lebih menghambat daripada memperlancar pembangunan. Empat, rekam jejak dewan Jakarta memang buruk, wajar kalau dibubarkan secara konstitusi. Lima deparpolisasi sekalian saja, toh hanya satu daerah dan itupun Daerah Khusus Ibukota.

Sekiranya penetapan, siapa yang paling berpeluang mendapatkan jabatan periode ini?

Pertama, Yusril. Pribadi yang paling berpengalaman, menteri telah tuga presiden yang berbeda. Ahli tata negara, pengacara yang terkenal apalagi menghadapi pejabat tinggi negara. Pimpinan parpol, dan juga memiliki pengalaman sangat banyak. Peluang ada, namun soal pengalaman berhadapan dengan ketidaktertiban dan budaya abai Jakarta belum terbukti.

Kedua, Lulung. Pengalaman kemasyarakatan tidak perlu diragukan. Pengalaman berpolitik dan organisasi tidak sedikit. Pengalaman berpolitik dan berusaha sangat layak untuk menjadi pemimpin. Catatan yang tidak mudah, pengalaman mengubah tabiat tidak tertib di Jakarta yang menyebabkan macet, banjir, dan  aneka masalah.

Ketiga, Rizal Ramli. Pengalaman sebagai menteri dan menko tidak perlu diragukan. Keberanian menggebrak dengan istilahnya ngepret layak untuk Jakarta. Kinerjanya baik dan tidak ada persoalan. Relasinya luas dan itu sangat menguntungkan Jakarta. Bekerja tim dan birokrasi belum teruji.

Keempat, Ahok. Presiden lebih enak karena pernah bekerja sama. Tanpa dewan sangat lancar maunya. Kinerja dan keberanian telah dibuktikan dan dirasakan. Persoalan, cara komunikasi dan pendekatan kepada masyarakat dan dalam menghadapi permasalahan sering tidak proporsional.

Kelima, Sandiaga Uno. Tokoh paling muda dan banyak makan asam garam di dunia usaha. Sangat membantu dalam memberikan kesempatan kerja, investasi lebih lancar, tanpa adanya dewan tidak perlu dikhawatirkan dengan adanya permainan dari mereka. Catatan ada pada pengalaman mengelola birokrasi yang tentu sangat berbeda dengan karyawan dan jajarannya.

Keenam, Djarot. Di balik sikap yang diam dan lebih cenderung mendengarkan bisa menjadi gaya yang berbeda bagi DKI. Pemetaan dan penyelesaian masalah dengan cara yang berbeda dengan yang sudah pernah terjadi. Persoalannya,  gaya kepemimpinan ini belum teruji di leve sebesar dan sekompleks Jakarta. Beda ketika di daerah.

Ketum parpol tidak perlu pusing dan gerilya menjalin komunikasi dan koalisi yang macam-macam. Memberikan masukkan boleh-boleh saja, namun bukan seperti sekarang ini, bukan memberikan pencerahan dan ketenangan malah membuat gaduh dan kisruh. Parpol tetap ada dan penting namun berbeda pola kerjanya.

Pengawasan tidak menjadi persoalan berlebihan jika sistem bekerja dengan baik. Toh nyatanya selama ini pengawasan yang ada di dalam dewan, malah justru pagar makan tanaman. Mereka lebih dulu mengawali untuk ndhodhosidari dalam, sejak awal lagi. Sama juga tidak ada pengawas, ketika pengawasnya malah nyolong dan aktif dan berinisiatif. Jika semua sudah dalam bentuk elektronik, terbuka, dan bisa diakses secara terbuka, tentu semua menjadi pengawas dan jauh lebih lepas kepentingan pribadi.

Birokrasi lebih lancar, efisien, dan efektif, bagaimana selama ini justru dewan lebih menjadi penghambat dari pada pengawas. Menekan untuk membuat anggaran yang bisa dimain-mainkan. Kecuali dewan telah bekerja dengan lebih baik dan cerdas, tentu berbeda. Sama sekali belum jelas apa prestasi dan kegunaan dewan ini, khususnya di Jakarta.

Hemat, jelas saja saja anggaran untuk seratusan anggota dewan, operasional gedung staf, belum lagi beaya untuk pemilu dan parpol. Berapa saja coba yang bisa dihemat dengan memangkas pengangguran bersama-sama selama ini.  Toh tingkat dua juga tidak ada. Jika menyatakan tidak demokratis, demokratis macam mana? Nyatanya atas demokrasi malah ngadali negeri kog.

Penetapan DKI-1 dan 2 bisa menjadi pemikiran untuk percepatan perubahan di Jakarta yang lebih baik ke depannya. Masalahnya banyak, masih dihambat justru oleh pemangku kebijakan sendiri. Dewan lebih galak daripada LSM juga baru ada di Jakarta. Demokrasi akal-akalan yang masih saja dijadikan tameng oleh oknum tamak dan rakus. Dan itu justru yang lebih banyak di Jakarta khususnya.

Salam  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun