Pengawasan tidak menjadi persoalan berlebihan jika sistem bekerja dengan baik. Toh nyatanya selama ini pengawasan yang ada di dalam dewan, malah justru pagar makan tanaman. Mereka lebih dulu mengawali untuk ndhodhosidari dalam, sejak awal lagi. Sama juga tidak ada pengawas, ketika pengawasnya malah nyolong dan aktif dan berinisiatif. Jika semua sudah dalam bentuk elektronik, terbuka, dan bisa diakses secara terbuka, tentu semua menjadi pengawas dan jauh lebih lepas kepentingan pribadi.
Birokrasi lebih lancar, efisien, dan efektif, bagaimana selama ini justru dewan lebih menjadi penghambat dari pada pengawas. Menekan untuk membuat anggaran yang bisa dimain-mainkan. Kecuali dewan telah bekerja dengan lebih baik dan cerdas, tentu berbeda. Sama sekali belum jelas apa prestasi dan kegunaan dewan ini, khususnya di Jakarta.
Hemat, jelas saja saja anggaran untuk seratusan anggota dewan, operasional gedung staf, belum lagi beaya untuk pemilu dan parpol. Berapa saja coba yang bisa dihemat dengan memangkas pengangguran bersama-sama selama ini. Â Toh tingkat dua juga tidak ada. Jika menyatakan tidak demokratis, demokratis macam mana? Nyatanya atas demokrasi malah ngadali negeri kog.
Penetapan DKI-1 dan 2 bisa menjadi pemikiran untuk percepatan perubahan di Jakarta yang lebih baik ke depannya. Masalahnya banyak, masih dihambat justru oleh pemangku kebijakan sendiri. Dewan lebih galak daripada LSM juga baru ada di Jakarta. Demokrasi akal-akalan yang masih saja dijadikan tameng oleh oknum tamak dan rakus. Dan itu justru yang lebih banyak di Jakarta khususnya.
Salam Â