Birokrasi Jakarta sudah susah untuk ditembus. Berkali-kali ketahuan dengan adanya dana siluman yang sudah lampau. Tentu gubernur lebih waspada melihat segala kemungkinan. Birokrasi pun tentunya sekarang tidak lagi berani main-main, selain malu juga ancaman penjara. Sangat kecil kemungkinan lewat pihak eksekutif.
Legeslatif yang masih memiliki paradigma lama belum juga sadar. Kepentingan syahwat politik yang besar namun menemui tembok kuat semakin membuat mereka frustasi. Bagaimana tidak frustasi ketika sudah ketahuan berkali-kali bukannya main halus malah ceroboh sehingga tertangkap tangan, jelas saja kasusnya apa.
Suap yang tertangkap basah susah untuk menuduh eksekutif yang memainkan dan memberikan fasilitas untuk pihak-pihak tertentu. Apa bisa dikatakan jika  uang itu akan diberikan pula ke pihak sebelah, tentu sangat kecil kemungkinannya.
Persoalan politis yang dicoba dengan berbagai cara tidak menemui hasil, demokrasi jalanan diusahakan, lewat lembaga penegak hukum tidak tercapai, akhirya malah salah jalan dan blunder demi blunder sendiri. Coba jika dewan seluruh Indonesia kerja keras bukan demi kepentingan sendiri Indonesia sudah makmur, sayang hanya untuk diri dan kelompok.
Harapan untuk menyaksikan itu tampaknya masih lama karena hakim menghendaki itu di ujung persidangan. Jadwal lebih diikuti sebagai tahapan persidangan. Jika ini terjadi, tentu satu di antara keduanya pasti yang bersalah dan ada yang menghianati warga Jakarta. Siapakah di antara Ahok atau M. Taufik?
Mendesak adalah LHKPN bukan hanya anjuran tapi kewajiban dan ada ancaman pidana dan Pembuktian Terbalik, namun lagi-lagi apa ada yang mau mendukung hal ini. Bagaimana pejabat publik bisa memutarbalikkan fakta dengan gagah perkasa, tanpa ada hukuman termasuk hukuman sosial.
SalamÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI