Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mantan Mendiknas Menjawab Mendiknas

31 Agustus 2016   07:06 Diperbarui: 31 Agustus 2016   10:50 1712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pak Anies Baswedan memberikan contoh konkret bahwa polemik atas wacana penggantinya tidak dikatakan di luaran dalam menjawab tanya media. Dia mengatakan dalam sebuah seminar di sebuah sekolah, bukan kota besar lagi yang tentu tidak akan membuat heboh apalagi dijadikan bahan “perang urat syaraf”. Pernyataannya pun berdasar dan mengerti pendidikan secara baik dan menurut hemat saya bukan karena sakit hati diganti. Bisa saja salah, namun bisa dibaca demikian. Ia mengatakan kalau pendidikan itu suatu proses tidak semata lamanya jam belajar.

Pendidikan itu proses panjang bukan semata lamanya waktu belajar. Saya ingat diajarkan seorang guru kala kelas dua SMP (paling tidak hampir 20 tahun lalu), bahwa belajar itu jauh lebih efektif 1x 5 daripada 5 x 1. Saat itu tidak paham apa artinya, eh ternyata bahwa belajar itu butuh rutin, kontinu, dan terus-menerus. Apa bedanya 5 x 1 dengan sistem SKS, sistem kebut semalam? Dan sayangnya model ini yang menjadi tren, gaya hidup, dan pilihan bagi banyak siswa di Indonesia.

Hal yang sangat logis karena daya tampung otak tentu terbatas demikian juga dengan kemampuan badan dalam kemampuan untuk belajar dan menyerap apa yang harus dipelajari. Berkaitan dengan biologis bahwa tubuh juga perlu keseimbangan dalam istirahat.

Menjawab wacana FDS. Pas wacana FDS dinyatakan, Pak Anies mengatakan bahwa ia tidak patut mengomentari ide penggantinya. Baik bahwa tidak memberikan tambahan kegaduhan dan menunjukkan wacana menteri baru sebagai buruk misalnya, yang malah tidak menambah kebaikan. Setelah beberapa saat ada pernyataan demikian, sejatinya memberikan gambaran bahwa memang ide ini tidak sepenuhnya tepat.

Apakah perang gagasan mana yang lebih cerdas? Melihat rekam jejak Anies Baswedan tidak demikian. Tipikal yang tidak menunjukkan perbedaan sebagai permusuhan dan mencari-cari kekurangan yang menggantikan, sepanjang pengamatan saya. Saya pribadi melihat beberapa permasalahan sekolah sepanjang hari.

Asrama, solusi dengan potensi masalah juga...

Mengalami sendiri sekolah sepanjang hari dan juga seluruh hari dan malam, namun dalam konteks pendidikan usia dewasa, jenjang atas dan kuliah, tentu berbeda dengan anak-anak seperti gagasan Pak Menteri, yaitu SD dan SMP. Kisah nyata, anak lulusan SMP terbaik di sebuah kota masuk asrama hampir DO, karena apa? Ritme yang berbeda. Ini bukan semata hal yang sepele. Anak-anak kalau capek itu biasanya usil, bisa pula marah, lha apakah ini tidak mengganggu rekannya? Pendampingan guru yang ekstrakeras dalam arti bukan kejam, namun ketat sangat menentukan.

Alienasi dengan keluarga, lingkungan

Pengaruh medsos dan smartphone, luar biasa bagaimana anak lebih asyik dengan dunia itu, belum lagi jika ditambah capek di sekolah? Apa jadinya? Dunia anak semakin sempit untuk bersama keluarga dan lingkungan. Orang tua capek usai kerja anak lelah pulang sekolah, dan akhirnya rumah seperti hotel, bersama-sama ngaso. Bagaimana hidup diisi dengan saling asing satu sama lain? Kapan bisa berbincang, bermain, dan berinteraksi. PR memang bisa dilakukan di sekolah, namun tentu bukan hanya PR belajar itu bukan?

Manusia sosial bisa menjadi asosial dan soliter

Anak dipisahkan dengan dunia sekitarnya, yang terdekat sekalipun, apa tidak makin menjadi pribadi yang soliter dan asosial? Tidak bisa membayangkan seperti apa rupa anak yang pulang sekolah dan tentu orang tua lebih mencari aman dibiarkan apa maunya. Jangan-jangan minta mandi pun tidak akan tega. Apalagi memberikan latihan tanggung jawab lainnya. Seperti bantu bebersih kamar sendiri. Pelajaran hidup untuk bisa berperan bisa tereliminasi atas nama capek dan letih dibungkus dengan kata kasihan. Hari-hari ini, interaksi anak lebih banyak dengan layar, baik hape atau teve, dan apakah tidak lebih payah dan parah jika ditambah dengan model sekolah seperti ini.

Sekolah sepanjang waktu itu bukan keharusan namun sebuah pilihan. Anak bisa memilih, bukan harus dan pasti. Tidak semua anak bisa membagi waktu senyaman anak lain. Pemerintah tidak bisa menyamaratakan hal ini. Sangat setuju dan efektif bagi sekolah tingkat atas apalagi kejuruan. Melatih anak didik lebih terampil dan memang bisa bersaing di dunia industri. Satu yang pasti mengorbankan usia remaja mereka.

Anggapan kalau karena guru malas untuk mengelola sekolah sepanjang hari sama sekali tidak berdasar, mengapa? Kerja guru itu bukan hanya di sekolah. Di rumah pun pekerjaan anak-anak tidak jarang dibawa pulang dan dikerjakan di rumah, kadang bersama keluarga. Sama sekali hal ini di luar soal kemalasan.

Anak di masa pertumbuhan perlu banyak masukan, pendidikan tentu ada formal dan nonformal serta informal. Itu semua akan bisa baik jika ada sinergi bukan saling meniadakan. Sekali lagi ini bukan soal benar salah namun lebih baik dan baik.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun