Pak Anies Baswedan memberikan contoh konkret bahwa polemik atas wacana penggantinya tidak dikatakan di luaran dalam menjawab tanya media. Dia mengatakan dalam sebuah seminar di sebuah sekolah, bukan kota besar lagi yang tentu tidak akan membuat heboh apalagi dijadikan bahan “perang urat syaraf”. Pernyataannya pun berdasar dan mengerti pendidikan secara baik dan menurut hemat saya bukan karena sakit hati diganti. Bisa saja salah, namun bisa dibaca demikian. Ia mengatakan kalau pendidikan itu suatu proses tidak semata lamanya jam belajar.
Pendidikan itu proses panjang bukan semata lamanya waktu belajar. Saya ingat diajarkan seorang guru kala kelas dua SMP (paling tidak hampir 20 tahun lalu), bahwa belajar itu jauh lebih efektif 1x 5 daripada 5 x 1. Saat itu tidak paham apa artinya, eh ternyata bahwa belajar itu butuh rutin, kontinu, dan terus-menerus. Apa bedanya 5 x 1 dengan sistem SKS, sistem kebut semalam? Dan sayangnya model ini yang menjadi tren, gaya hidup, dan pilihan bagi banyak siswa di Indonesia.
Hal yang sangat logis karena daya tampung otak tentu terbatas demikian juga dengan kemampuan badan dalam kemampuan untuk belajar dan menyerap apa yang harus dipelajari. Berkaitan dengan biologis bahwa tubuh juga perlu keseimbangan dalam istirahat.
Menjawab wacana FDS. Pas wacana FDS dinyatakan, Pak Anies mengatakan bahwa ia tidak patut mengomentari ide penggantinya. Baik bahwa tidak memberikan tambahan kegaduhan dan menunjukkan wacana menteri baru sebagai buruk misalnya, yang malah tidak menambah kebaikan. Setelah beberapa saat ada pernyataan demikian, sejatinya memberikan gambaran bahwa memang ide ini tidak sepenuhnya tepat.
Apakah perang gagasan mana yang lebih cerdas? Melihat rekam jejak Anies Baswedan tidak demikian. Tipikal yang tidak menunjukkan perbedaan sebagai permusuhan dan mencari-cari kekurangan yang menggantikan, sepanjang pengamatan saya. Saya pribadi melihat beberapa permasalahan sekolah sepanjang hari.
Asrama, solusi dengan potensi masalah juga...
Mengalami sendiri sekolah sepanjang hari dan juga seluruh hari dan malam, namun dalam konteks pendidikan usia dewasa, jenjang atas dan kuliah, tentu berbeda dengan anak-anak seperti gagasan Pak Menteri, yaitu SD dan SMP. Kisah nyata, anak lulusan SMP terbaik di sebuah kota masuk asrama hampir DO, karena apa? Ritme yang berbeda. Ini bukan semata hal yang sepele. Anak-anak kalau capek itu biasanya usil, bisa pula marah, lha apakah ini tidak mengganggu rekannya? Pendampingan guru yang ekstrakeras dalam arti bukan kejam, namun ketat sangat menentukan.
Alienasi dengan keluarga, lingkungan
Pengaruh medsos dan smartphone, luar biasa bagaimana anak lebih asyik dengan dunia itu, belum lagi jika ditambah capek di sekolah? Apa jadinya? Dunia anak semakin sempit untuk bersama keluarga dan lingkungan. Orang tua capek usai kerja anak lelah pulang sekolah, dan akhirnya rumah seperti hotel, bersama-sama ngaso. Bagaimana hidup diisi dengan saling asing satu sama lain? Kapan bisa berbincang, bermain, dan berinteraksi. PR memang bisa dilakukan di sekolah, namun tentu bukan hanya PR belajar itu bukan?
Manusia sosial bisa menjadi asosial dan soliter
Anak dipisahkan dengan dunia sekitarnya, yang terdekat sekalipun, apa tidak makin menjadi pribadi yang soliter dan asosial? Tidak bisa membayangkan seperti apa rupa anak yang pulang sekolah dan tentu orang tua lebih mencari aman dibiarkan apa maunya. Jangan-jangan minta mandi pun tidak akan tega. Apalagi memberikan latihan tanggung jawab lainnya. Seperti bantu bebersih kamar sendiri. Pelajaran hidup untuk bisa berperan bisa tereliminasi atas nama capek dan letih dibungkus dengan kata kasihan. Hari-hari ini, interaksi anak lebih banyak dengan layar, baik hape atau teve, dan apakah tidak lebih payah dan parah jika ditambah dengan model sekolah seperti ini.