Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sandiaga Uno, Politikus Muda Aroma Tua

28 Agustus 2016   10:52 Diperbarui: 28 Agustus 2016   11:41 2529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jangan sensi dulu dan kemudian mengatakan menabikan Ahok, ini soal pola pikir Uno bukan Ahok, yang mau nyinyir Ahok minggir dulu. Beberapa kali Uno berkomentar soal kinerja Ahok, ini model politikus kuno, zaman lampau, yang tidak menawarkan hal baru, perlu ditinggalkan, dan tidak perlu dicontoh.

Sandiaga sebagai representasi anak muda, generasi jauh lebih muda daripada era lalu, tentu memiliki harapan bahwa bangsa dan negara memiliki pemimpin muda yang bisa membawa angin segar dan perubahan yang lebih besar.

Mengenai keterpilihan yang belum beranjak tinggi, tidak perlu panik, kemudian malah mengritisi gubernur yang ada. Itu tidak salah, sah-sah saja, dan sangat wajar, namun tidak cocok dengan profil muda. Muda itu membawa perubahan, hal yang baru, dan lebih cepat daripada yang tua.

Paling tidak ada beberapa hal yang menunjukkan model politikus  tua yang disajikan. Pertama, komentarnya Ahok mendapat “jalan khusus” oleh PDI-P. Wajar wong yang daftar tidak mendapatkan tanggapan sebagaimana mestinya, eh malah disalip di tikungan. Nyesek tentunya, komentar dan reaksinya yang mengatakan ternyata ada jalaur khusus memperlihatkan sikap model politikus kebanyakan selama ini yang beraroma tidak mudah menerima kenyataan termasuk trik dan intrik yang ada. Politikus tua tapi kekanak-kanakan, gak perlu ditiru.

Kedua, komentar atau saran soal cuti yang diperjuangkan Ahok, apa dua puluh empat jam Ahok lihatin anggaran. Nah kembali model politikus tua, menyasar apa yang dilakukan rival. Biar saja mau Ahok jungkir balik, lakukan ide sendiri yang orisinal, asli milik sendiri. Program yang salah atau jelek biar saja, namun berilah solusi dan jangan khawatir akan dijiplak, jika iya, pun media dan era digital semua juga tahu, ini ide siapa dan bagaimana. Fokus ke dalam bukan keluar.

Ketiga, buat yang spesial, khas, buat trend bukan ikuti yang sudah pernah dilakukan. Blusukan, jelas saja sudah milik Pak Jokowi, lha napa diikuti, orang tua, bukan muda. Meskipun Pak Harto juga buat turba, tih blusukan berbeda, di sinilah pentignya, membuat yang beda. Mosok tidak bisa membuat hal yang berbeda dan tidak mengekor. Dan model pendekatannya pun jadi bulan-bulanan, dan itu sudah banyak dikupas.

Keempat, orang trauma dengan parpol, eh malah kelihatan banget takut dan sangat di bawah kendali parpol, ingat bukan Ahok, gak perlu sensi. Tunjukkan bagaimana sikap berani dan tidak akan kompromi dengan parpol dalam hal ini dewan. Susah bisa melihat Sandiaga tidak akan dikadali dewan, ini bisa saja berlebihan, atau menilai buku dari sampulnya, paling tidak rekam jejaknya susah lepas dari parpol.

Apa yang sebaiknya dilakukan untuk menjual diri lebih baik lagi. Jadi diri sendiri.Selama ini orang mengenal sebagai pengusaha, tentu soal ekomomi sangat mumpuni, mengapa tidak menjual ide dan wacana bagaimana menertibkan Jakarta hingga tidak kumuh dengan caranya sendiri, misalnya, kawasan kumuh akan dijadikan UMKM dengan modal dan pendampingan dari perusahaannya secara profesional. Atau apalah, yang jelas karena memang pengalaman sebagai pengusaha dan lingkup ekonomi ya jalani daripada bicara ranah politik malah kedodoran.

Tawarkan yang baru, dan beda dengan yang dilakukan gubernur saat ini.Apa yang beda, kalau bisa bertolak belakang, misalnya selama ini banjir belum berubah banyak, apa ide yang realistis, dan bukan soal kritik yang ada. Demikian pula soal macet, apa idenya, sekali lagi, tidak perlu khawatir diambil oleh rival, kalau berpikir demi pembangunan.

Fokus ke dalam, diri dan parpol, tinggalkan Ahok dan segala perilakunya.Apa artinya, bahwa kerja demi popularitas sendiri, jangan salah, mengritik Ahok, kalau salah, bukan malah menurunkan Ahok, justru lebih memromosikan lawan lho. Selama ini politikus Indonesia berkutat model ini terus.

Lihat saja apa yang dilakukan Wiranto dan Tanu dulu, jungkir balik dengan berbagai-bagai pendekatan merakyatnya, karena blusukan itu “milik” Jokowi, tetap saja tidak bisa menjual mereka berdua.  Apa uang bisa berpengaruh? Bisa tapi tidak banyak, lihat bagaimana Ical memberikan hadiah dengan berbagai cara dan itu tidak kecil lho, nyatanya tidak mengubah keadaan terlalu jauh.  Menjelek-jelekan rival, apa perlu mencontoh Foke, atau pilpres lalu yang justru tidak membantu malah merugikan, mosok malah mau diulang.

Tentu timses dan tim pemenangan telah melakukan banyak hal untuk mendongkrak popularitasnya. Perlu keluar dari kebiasaan yang sudah biasa-biasa saja. Asal tidak yang sudah dilakukan orang lain. Medsos bisa dipakai asal tidak menggunakan apa yang sedang trend karena pasti akan lewat dalam waktu singkat. Ditunggu ide kekinian, muda, dan khas untuk bisa menampilkan diri lebih dari yang lain.  Salah pilih malah membuat makin terpuruk. Tim komunikasi sangat penting memilihkan tema yang perlu dikritisi dan arahnya bagaimana.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun