Apa yang perlu dilakukan adalah penyadaran. Jauh lebih penting soal kedisiplinan, soal kedatangan rapat atau sidang saja susahnya minta ampun, buat apa sekolah kalau sidang saja malas. Apa yang diharapkan kalau soal awalnya sudah malas dulu. Ini lebih soal mental bukan kemampuan dan latar belakangnya.
Kemudian siapa yang akan menjadi “guru” dan pengelolanya. Jika angggota dewan yang sudah lama, memang sudah jaminan lebih baik? Kalangan akademisi profesional? Apa bedanya dengan kuliah, lha sekolah bukan saatnya lagi dong. Atau petinggi parpol? Bagaimana mau memberikan arahan dan pendidikan pada “rival”?
Sepakat bahwa perlu perbaikan namun tidak perlu sekolah legeslatif, biar parpol memberikan, toh ada juga parpol yang melakukan itu dan itu bukan barang buruk untuk dilakukan, sejatinya, kader dari bawah itulah sekolah legeslatif terbaik. Belajar sambil melakukan itu guru terbaik bagi siapa saja.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H