Sekolah Parlemen: Solusi atau Minim Prestasi?
Gagasan ketua dewan untuk menyelenggarakan sekolah parlemen menimbulkan tanya. Merespons atas kinerja yang buruk dewan, baik dan patut dan mendapat apresiasi, namun apakah benar tugas dewan atau lembaga DPR yang harus melakukan? Jika iya, untuk apa adanya kaderisasi parpol? Atau di mana peran parpol selama ini?
Menarik adalah, jika dipakai analogi, orang kerja itu berarti usai dari sekolah, bukan diterima kerja kemudian baru sekolah, ini legeslatif atau ikatan dinas? He..he...akan ada akademi dewan, seperti STT Telkom, STAN, Akabri, dan sejenisnya. Benar bahwa dewan menjawab krikitan karena rendahnya maaf kualitas dewan kali ini. sorotan paling tajam kemarin adalah dewan ari artis dan pengusaha. Apakah ini salah? Tidak. Kesalahan ada pada parpol.
Gagalnya parpol dalam kaderisasi. Pertama soal politik mahal, akhirnya potong kompas mengambil pengusaha yang mau masuk ke dalam kekuasaan. Sebenarnya tidak salah pengusaha menjadi legeslatif, namun apakah benar bisa mengerti politik dengan baik? Itu tugas parpol untuk memberikan pemahaman dan pendidikan sehingga bisa menjadi politikus yang bisa bekerja dengan baik sesuati dengan bidangnya.
Kedua, meningkatkan keterpilihan. Paling mudah adalah artis. Artis yang beralih menjadi legeslator tidak salah, sepanjang bisa bekerja dengan baik dalam tugas kedewanan. Bagaimana parpol yang sudah mendapatkan keuntungan di bidang ketenaran, bisa memberikan kontribusi di kemampuan bertata negara. Ronald Regan sukses juga, kalau di dalam almarhum Sopan Sopian bisa menjadi contoh yang bisa berperan dengan relatif baik.
Mereka gagal dalam menggerakan partai baik segi finalsial dan kepopuleran, tidak mau kerja keras, comot dan dibiarkan begitu saja, jelas kesalahan pada pasrpol, bukan artis dan pengusahanya. Bagaimana mereka memberikan pendidikan bagi kadernya itu menjadi penting dan pokok.
Pendidikan bukan tugas lembaga dewan, tapi parpol.Jika wacana ini terealisasi, berarti ada empat tugas, pengawasan, legeslasi, anggaran, dan pendidikan. Atau akan dijawab ini bukan tugas cuma meningkatkan kualitas. Jika hal ini bisa diterima terus kapan waktunya? Apakah tidak lebih parah, kerja lima tahun malah masih terpotong, kapan bekerja demi negara dan rakyat kalau masih mengurus diri sendiri soal kemampuan? Tugas mendidik ada pada parpol bukan pada pada dewan.
Matrikulasi, training, masa percobaan di dunia kerja itu sangat mungkin. Semua profesi di Indonesia memang demikian. Hampir tidak ada yang tidak ada masa atau proses ini. Ini yang menarik ketika dewan belum mampu bekerja. Artinya apa? Jenjang “karir” di parpol yang bermasalah. Masuk lembaga dewan itu harusnya pernah masuk di dewan jelas dari bawah, DPR-D II, DPR-D I, baru ke pusat, atau kalau memang berprestasi, kesiapan dalam banyak hal proses itu bisa dilampaui, langsung di dewan tingkat satu atau langsung pusat, namun bukan anak bawang,yang sama sekali tidak tahu soal tugasnya. Contoh, Budiman Sujatmiko tentu tidak heran kalau langusng di pusat, tentu tidak bisa dibandingkan dengan Anang, ingat soal kemampuan berpolitik, bukan yang lain.
Bisa dilakukan sebelum pelantikan dan itu menjadi wewenang dan kewajiban parpol, bukan dana dari negara, namun parpol. Jika dana minta negara, lebih baik buat pendidikan anak-anak muda agar bisa bersaing dengan generasi muda bangsa lain.
Rendahnya kualitas dewan kali ini, sejatinya bukan semata-mata kemampuan, namun soal sakit hati yang dilampiaskan dengan kerja seenak perutnya sendiri. Tidak ada yang meragukan kemampuan baik sekelas Fadli Zon, Fahri Hamzah, Rieke Dyah Pitaloka, Nurul Arifin, Tantowi Yahya, dan lainnya, namun mengapa menjadi buruk kinerjanya? Oreintasinya pada sosok Jokowi semata. Sehingga energi mereka terkuras hanya ke sana. Kritisnya tidak membangun malah merugikan.
Gagal fokus kerja, ini juga soal rasa lagi, ketika sakit hati pada Ahok, sehingga fadli Zon malah mikirkan Jakarta, sedangkan Jakarta ada DPR-D II sendiri. Ini jelas merugikan kelembagaan dewan pusat. Berlebihan dalam hal tertentu dan abai pada soal lain. Termasuk yang ribet soal pekerjaan lama, masih eksis di perusahaan, atau syuting, dan sejenisnya. Masih melakukan aktifitas dan pekerjaan lama mereka.