Sudahkah Kita Merdeka?
Kita patut bersyukur bahwa telah 71 tahun merasakan pembebasan dari belenggu penjajahan dari Belanda dan negara asing. Bebas dari cengkeraman dari bangsa lain yang tidak membuat kita leluasa memberikan warna bagi bangsa dan negara sebagai tanah yang berdaulat. Apakah kita benar-benar telah merdeka dan bebas dalam arti yang sesungguhnya?
Kita patut merenungkan bagaimana keadaan kita saat ini dipenuhi dengan keadaan yang “terjajah.” Terjajah dan terpenjara oleh berbagai-bagai kepentingan. Kepentingan diri sendiri, kelompok, baik asing ataupun dalam negeri.
Bebas itu berbenturan dengan bebas pihak lain...
Suka atau tidak, selama masih ada di dunia, kita akan hidup dengan benturan kebebesan pihak lain, artinya bahwa kita bebas yang bertanggung jawab. Tidak ada bebas sebebas-bebasnya, apalagi bebas untuk menindas. Ini yang masih abai oleh berbagai-bagai pihak. Berbeda itu kodrat bukan buatan yang mau dipaksakan sama.
Bebas beragama...
Persoalan klasik yang malah mundur jauh ke belakang. Beberapa tahun lalu, sangat jarang ada benturan agama, kini satu agama saja bisa ramai dan ribut berebut benar. Merasa lebih suci, benar, dan paling lurus atas “pedoman” sedang yang lain “menyimpang”. Bagaimana bisa manusia hidup di dunia bisa menjadi hakim atas yang lain soal kebenaran seperti ini? Yang terbatas merasa lebih dan bisa menyatakan darah pihak lain sebagai boleh ditumpahkan?
Bebas dari minoritas mayoritas...
Model kebebasan yang satu ini juga baru menggejala post reformasi. Perjuangan membebaskan dari rezim tiran eh malah ada kelompok yang merasa besar dan menilai yang kecil harus tahu diri. Kelompok besar meras boleh mendiktekan kebenaran sesuai keinginannya. Semua manusia itu sama baik Jawa, Sunda, Betawi, Tionghoa, Arab, atau mau putih, keling, keriting, belok, sipit, mau banyak atau sedikit, bukan itu yang memberikan hak untuk menyatakan kebenaran dan pihak lain sebagai salah dan harus nurut.
Bebas mendapatkan pendidikan dengan layak dan wajar...
Pendidikan sebagai salah satu pilar kemajuan bangsa malah kembali ke zaman penjajahan, malah menjadi elitis, dan jurusan atau fakultas tertentu milik orang kaya. Pendidikan gratis itu tidak sebenarnya tepat, namun pendidikan tidak terjangkau juga masalah. Bagaimana pendidikan sangat mahal justru di depan mata sebagai bangsa merdeka, yang tidak ada bedanya dengan masa penjajahan. Esensi pendidikan adalah terjangkau bagi semua orang.
Bebas untuk menjadi diri sendiri...
Salah satu ciri hakiki kemerdekaan adalah menjadi diri sendiri. Bagaimana mau menjadi diri sendiri ketika masih banyak orang yang merasa diri lebih daru orang lain. menekan kelompok kecil sebagai musuh yang tidak boleh berkembang. Perbedaan dianggap sebagai lawan dan bisa ditekan sesuai kehendaknya sendiri. Apalagi di media sosial, bisa bersikap seolah menjadi yang paling benar dan mengintimidasi yang berbeda. Merdeka salah satunya adalah memberikan kesempatan orang berkembang sesuai dengan kemampuannya. Tidak memaksakan untuk sama dan seragam. Melihat semua harus sama adalah ciri bangsa kerdil dan masih terjajah.
Bebas berekspresi...
Bagaimana berekspresi ketika sedikit-sedikit dikatakan sebagai kelompok kecil tidak usah berulah. Ikut saja kata yang banyak. Menyatakan ide, gagasan, dan artikel sebagai apa adanya akan dicemooh, padahal belum tentu yang mencemooh itu lebih baik dan benar. Biarkan saja berekspresi sebagai sarana belajar dan berkembang bersama. Kritik itu boleh, namun bukan mencela.
Memahami kebebasan secara hakiki, bukan semata kognisi...
Selama ini, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan limpahan pustaka tidak bisa disangsikan lagi. Pengetahuan masih sebatas kognisi, sebatas pengetahuan belum mampu diaplikasikan. Kata-kata manis di atas mimbar rumah ibadah, di podium lapangan upacara, dan seminar, namun masih jauh dari hidup sehari-hari. Kebebasan dan kemerdekaan itu bukan ide namun kenyataan. Bagaimana melihat orang lain seperti musuh mengaku merdeka?
Memahami perbedaan sebagai hal yang alamiah dan kodrati, tidak memaksakan untuk sama...
Kita semua lahir dari orang tua yang berbeda jenis kelamin. Telah ada perbedaan sejak awali. Mengapa menghendaki semua orang harus sama dan seragam? Apakah bukan sebuah bentuk hendak menyatukan air dan minyak dengan cara diaduk. Melihat perbedaan dengan kaca mata baru sehingga tidak ingin menyeragamkan. Kacamata baru berarti bahwa perbedaan itu wajar, alamiah, dan tidak luar biasa. Apalagi bangsa ini lahir di atas perbedaan bermacam-macam, dari bahasa, suku, agama, dan banyak lagi.
Taat azas dan aturan...
Merdeka yang sejati itu taat azas sehingga semua orang bisa mendapatkan persamaan. Jaminan kebebasan di atas perbedaan berarti ada aturan dan azas yang diterima bersama sebagai bentuk ikatan kebersamaan. Jika belum bisa taat azas dan aturan, apa artinya merdeka? Kita bisa melihat dan menyaksikan bagaimana aturan bisa dipakai sesuai kehendak dan keinginan sendiri dan kelompok.
Berani mengatakan kebenaran dan kesalahan sebagai adanya...
Hal yang memprihatinkan ketika usai 71 tahun namun menyatakan kebenaran itu bisa menjadi bahaya dan menghantar ke penjara. Kesalahan bisa dijadikan benar oleh penguasa baik penguasa karena kursi kekuasaan atau karena kekuatan uang dan otot. Berbagai contoh ada di depan mata. Hal kecil hingga besar, sama saja dan itu membungkam mana yang baik dan salah, bisa sesukanya penggede.
Memberikan penghargaan dan pernyataan maaf sebagai hal yang tulus dan apa adanya....
Susah melihat penghargaan itu sebagai milik yang seharusnya atau karena kebenaran. Permintaan maaf itu sebagai hal yang tulus atau sekadar pencitraan. Penghargaan itu bukan karena kerja keras dan prestasi namun karena kedekatan dengan penguasa. Tidak heran kepala baik kepala daerah ataupun di birokrasi dihuni pecundang namun dekat dengan penguasa. Demikianpun permintaan maaf mahal harganya di negeri ini, apalagi mundur sebagai pertanggung jawaban atas kegagalan.
Selamat Hari Merdeka
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H