Beberapa waktu lalu ada dua pilihan pejabat negara yang melibatkan masa lalu. Menarik adalah reaksi Pak Beye, yang selaku presiden keenam memberikan komentarnya. Memang kedua pejabat itu ada kaitannya dengan zaman Pak Beye.
Pertama mengenai Jenderal Tito Karnavian. Kapolri muda ini dipilih presiden ketujuh Jokowi dengan melampaui beberapa angkatan. Biasanya gaduh, namun kali ini tenang-tenang saja dan tidak ada gejolak berlebihan, baik secara institusi ataupun biasa politis. Semua seolah merasa cocok dan pas. Tidak heran presiden keenam juga menyatakan “jasa”-nya. Beliau mengaku menaikan pangkat luar biasa tiga kali. Lha ini kan soal prestasi bukan soal siapa yang meneken kenaikan pangkatnya, jika demikian, kepsek sekolah dasarnya bisa juga ikut merasa “berjasa” karena menaikan lima kali.
Kedua, kalu Bu Sri Mulyani dipanggil Pak Jokowi pulang. Menarik adalah tanggapannya, meskipun sangat singkat dan hanya sebuah ucapan. Kalau tidak salah ingat pas menyatakan mundur dari menkeu periode lalu Bu Sri Mulyani menyatakan, jangan ada lagi bapak yang mengorbankan anaknya. Ada dua arti bahwa bapak yang ini oleh beliau dipandang tidak akan mengorbankan atau menendangnya, dan bapak yang pernah mengorbankan ternyata mengucapkan selamat.
Mengapa Pak Beye tidak berkomentar soal Bu Nila Moeloek?
Jika menilik kebiasaan Pak Beye yang merasa terlibat, berjasa, dan selalu saja merasa ikut kalau sukses, namun lupa kala terpuruk, bisa dikatakan mendapakan bukti dari kasus ini. Mengapa berbeda.
Satu, Bu Nila dulu konon dianggap tidak tahan stres pada pemilihan era Pak Beye, dan dipakai oleh Pak Jokowi dianggap sangat biasa, tidak memberikan nilai plus sama sekali. Bisa dengan bahasa kasar, toh tidak lolos di rezimku, kamu pakai, tidak ada untungnya buatku.
Dua, alasan pembatalan Bu Nila saja hingga kini tidak terkonfirmasi, apalagi memberi komentar pas pelantikan kala itu. Masih banyak bahan yang jauh lebih menarik untuk Pak Beye dan Demokrat untuk unjuk gigi.
Tiga, karena Pak Tito mewakili sosok berprestasi, kembali Pak Beye tidak mau ketinggalan kereta ikut senang dan “merasa” ikut berjasa. Jika Pak Tito dengan kenaikan pangkat di masa lampau, dengan kenaikan-kenaikan pangkatnya.
Empat, Bu Sri Mulyani itupun tidak bisa dianggap sembarangan, tokoh berprestasi plus, karena masuk di kabinet pertengahan yang berarti ada kekurangan yang hendak ditambal dengan kehadiran beliau. Pak Beye tahu persis nilai jual di sini jauh lebih seksi dari pada Bu Nila F. Moeloek.
Sepak terjang Pak Beye ini memang menarik, bagaimana kalau ada prestasi atau hal yang baik, akan cepat-cepat bereaksi, merespons, dan menanggapi sebagai bagian dari rintisannya juga. Beda kalau hal buruk, contoh, soal narkoba, bagaimana diam seribu bahasa soal tahun 2015 sebagai tahun bebas narkoba. Padahal sudah lewat hampir setahun, eh malah lebih parah dengan isu soal aliran dana dari FB. Ini tidak mendapatkan tanggapan dari beliau baik selaku presiden atau pemilik Demokrat.
Soal korupsi baik kader sendiri atau kader partai lain. Mengapa tidak berkomentar? Karena merasa akan tepercik muka sendiri. Jika demikian tidak layak sebagai seorang pemimpin, baik parpol apalagi pemerintah sebagai presiden. Jauh lebih elok dan etis, adalah baik ataupun buruk ikut urun rembug.
Pemerintah itu berkesinambungan bukan kalau berhasil dan berprestasi, namun juga pas gagal dan terpuruk. Tentu lebih baik jika dukungan itu diberikan pas saat negara gagal mengatasi masalah. Karena apa? Keberhasilan itu akan banyak menarik perhatian dan dukungan, bukan masalah. Berbeda kalau waktu gagal dan jatuh. Di sinilah ketokohan, kepemimpinan, dan kenegarawanan seseorang teruji.
Contoh negarawan dan pemimpin yang bisa berlaku dewasa dan berlaku bijak sebagaimana Pak Habibie. Mendukung penerusnya di saat apapun, terutama pas tidak menguntungkan. Kecil namun sangat berarti.
Pak Anies Baswedan juga contoh baik seorang negarawan, kala ditanya soal FDS, beliau mengatakan tidak elok mengomentari pengganti. Biar saja menteri baru bekerja dengan ide beliau. Tentu adem dan damai jika pergantian itu dinilai sebagai hal yang wajar.
Prestasi, jasa itu tidak perlu klaim, meminta diakui, atau menyatakannya sendiri, namun akan dikatakan dan dinyatakan oleh orang lain. Pengakuan dari pihak lain bukan dari diri sendiri. Negarawan itu akan disematkan oleh sejarah, kalau memang berprestasi tidak usah khawatir tinta emas akan menuliskannya dalam kitab bangsa dan negara ini.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H