Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik ala Taufik, Sederhana atau Naif?

13 Agustus 2016   09:47 Diperbarui: 13 Agustus 2016   10:08 2402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Membaca berita soal pilkada DKI tidak ada habis-habisnya. Mau yang serius hingga candaan dan tidak ketinggalan yang sarkasme ala medsos tidak kurang. Masih lagi ditingkahi oleh perilaku politikus yang sejati, yang berpusat pada kursi dan kekuasaan dan alpa akan etis yang seharusnya tidak boleh demikian.

Sepakat bahwa politik itu seni mendapatkan kekuasaan namun bukan berarti bahwa kekuasaan itu didapat dengan cara-cara yang tidak pantas. Ada ranah yang patut menjadi batasan, sehingga tidak semau-maunya, jika demikian, apa bedanya dengan preman jalanan?

Salah satu yang menggelitik adalah ungkapan dari M. Taufik berikut ini:

Kesepakatan dari Koalisi Kekeluargaan, tambahnya, lebihsimpledibanding tiga partai pendukung Gubernur DKI JakartaBasuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Menurut Taufik, tiga partai pendukung Ahok rawan pecah karena berebut posisi wakil gubernur.

Pola pikir politikus yang satu ini, sederhana, naif, atau sudah tidak lagi tahu mau berbuat apa. sebagaimana pemberitaan Kompas.com di atas, ia menyatakan dengan sangat mudah, ia katakan simple saja. Karena suara mereka-mereka itu kecil dibandingkan PDI-P, maka kursi DKI-1 ada di PDI-P, ini pertama.

Kedua,apakah tujuh dibandingkan tiga itu lebih mudah yang tujuh hanya karena sudah ada gubernur di pihak sebelah? Ini menurut akal sehat dan waras saja, apakah kelima parpo lain itu hanya mau gratisan dan dompleng tanpa mengharapkan sesuatu. Sederhana di satu sisi melupakan kesulitan yang di depan mata.

Ketika pendukung Ahok dinilai rawan pecah, ketiga, yang hanya tiga saja rawan, menurut pola pikirnya lho, apalagi yang tujuh, dengan lima tanpa dapat “apa-apa” apa tidak malah darurat pecah atau berebut di kemudian hari? Apakah kalau PDI-P gubernur dan wakilnya Sandiaga sudah pasti yang lima rela hati dan ideologi?

Keempat, apakah tidak akan datang potensi keributan jika misalnya PDI-P mengusulkan X sedangkan parpol satu tidak suka, atau mau yang lain? Atau mau  tidak Gerindra misalnya PDI-P meminta mengganti Sandiaga dengan tokoh lain meskipun juga kader Gerindra?

Sementara itu, posisi calon gubernur akan diserahkan kepada partai pemenang, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Enam partai lainnya, kata Taufik, tengah menunggu keputusan PDI-P untuk jadi calon gubernur.

Pernyataan kedua, tidak kalah menariknya karena mirip bapak yang tidak punya uang membujuk anaknya untuk mendapatkan uang dari ibunya. Le mintakan uang ke ibumu sana kamu kan anak baik, nanti bapak belikan es krim.Lha dia saja minta uang ke istrinya kog menjanjikan anaknya es krim. Janji yang bersyarat dan sangat susah untuk bisa dipenuhi.

Sejarah pilpres ternyata dengan mudah dilupakan oleh M. Taufik namun tidak demikian dengan perilakunya selama ini. Apa artinya? Bagaimana galaunya (bukan dinamis kalau ini) peta politik di Jakarta. Ia tahu namun tidak mau tahu bahwa PDI-P masih punya pilihan lain, yang sudah dia ketahui sangat sulit, meskipun ada potensi di koalisi kekeluargaan ini. PDI-P masih bisa dukung Ahok, atau malah maju sendirian dengan calon keduanya milik sendiri. Kembali jika Taufik mikir simple,PDIP punya jalan yang jauh lebih simple.

Melihat apa yang dikatakan M. Taufik sebenarnya apa yang sekiranya terjadi:

Satu, mereka bertujuh, termasuk “oknum” PDI-P ini hendak menekan Bu Mega untuk cepat-cepat mengeluarkan dukungan kepada siapa, beliau ingin memercayakan untuk kandidat  Jakarta satu ke depan.

Kedua,mereka tahu mereka sendiri rawan pecah, maka mereka memproyeksikan pihak lain yang rawan pecah. Jelas lebih susah mengakomodasi tujuh dari pada tiga.  Belum lagi soal kesetiaan dan ideologi pembangun koalisi ini, semua sudah tahu persis.

Ketiga, mereka tahu persis siapa yang realkali ini potensial paling kuat, soal kambing dan sebagainya itu hanyalah selip lidah. Bukti bahwa mereka tidak lagi berdaya menyaksikan lawan sendirian maju dengan mulus.

Keempat,  sepanjang ini, M. Taufik seperti penguasa  yang memiliki  kekuasaan tak terbatas, namun kali ini malah kebingungan sendiri, karena ketujuhnya, masih menunggu pihak lain, yang belum tentu mendukung idenya.

Kelima, melihat sederhananya pola pikirnya, bisa dimengerti ketika jadi pimpinan dewan juga sangat sederhana sehingga tidak bisa mengikuti alur pikir gubernur. Terjadi “perkelahian” dan itu hanya mengandalkan “otot”  dan keroyokan selama ini.

Keenam, jika selama ini Jakarta sudah hendak dibenahi dengan birokrasi yang lebih baik, dewan yang tidak lagi sewenang-wenang soal anggaran dan cara kerjanya, akankah ditarik ke belakang lagi dengan pola pikir gerombolan dagelan ini?

Ketujuh,jika koalisi kekeluargaan sesuai dengan ide M. Taufik ini, PDIP gubernur, Gerindra wakil. Lima yang lain minta apa? Akankah ada juga bagi-bagi kue di birokrasi dan dewan lagi? Mengerikan lho perkelahian tujuh kelompok ini, akankah kembali dua kubu yang bisa saja nanti justru lima non birokrasi minta di sebelah atau minta jajaran ini itu.

Kedelapan, mau mempengaruhi parpol yang jauh lebih besar, banyak pilihan, dengan modal cekak yang mau dinampakkan besar. Suka atau tidak, Sandiaga sangat tidak menjual, malah membebani siapapun yang di depan. Misalnya Risma, PKS apa iya benar dukung dengan sepenuh hati?  Djarot? Benar mampu bersaing? Susah dengan pilihan kartu mati justru yang ditawarkan.

Kesembilan, jika PDI-P mau, justru yang paling rugi PDI-P. Mereka bisa berjalan sendiri eh malah memapah pihak lain  yang lemah untuk sekadar berjalan. Mengapa demikian? Jika memang mereka mampu melaju mengapa harus khawatir dengan yang tiga, dan enam ada di sana, tentu minus PDI-P?

Kesepuluh,perilaku anak-anak caper dari ortu dipertontonkan. Elit daerah dan wilayah berulah, padahal elit pusat masih tenang-tenang saja. Ini yang Taufik  lupakan, bagaimana mereka meskipun mengatakan sudah komunikasi, nyatanya, masih banyak elit lain yang menertawakan.

Kesebelas, sebenarnya sangat menarik jika mereka yang menang, karena penguasa absolut justru akan ada di tangan M. Taufik, apa yang akan dia lakukan. Mengapa menarik, tentu banyak yang sudah tahu bagaimana ia selama ini bekerja. Kolaborasi dewan yang sangat baik, kinerja sinergis yang sangat baik untuk Jakarta.

Apakah pola pikir seperti itu yang harus mengelola APBD sekian besarnya? Mengumpulkan orang-orang yang berpusat pada kursi dan kuasa, dengan menafikan kecenderungan umum?

Kembali warga Jakarta yang akan menentukan. Siapa yang terbaik bagi mereka dan tentu untuk Indonesia.

Salam  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun