Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Penganiayaan Guru, Guru Cubit Murid, dan Sekolah Sepanjang Hari

13 Agustus 2016   06:41 Diperbarui: 13 Agustus 2016   10:29 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penganiayaan. Shutterstock

Dunia pendidikan kembali diguncang oleh persoalan kekerasan. Kali ini orangtua dan anak murid yang menghajar guru. Ironisnya si bapak itu juga muridnya. Anak dan cucu menghajar sang kakek. Kisah yang tidak lagi baru dan hanya satu-satunya.

Belum lama dan belum reda beberapa waku lampau dunia pendidikan juga ramai soal yang mirip. Seorang guru yang disidang karena mencubit muridnya. Hingga kasus ke pengadilan untuk urusan yang bisa diselesaikan dengan pembicaraan sebenarnya.

Di antara itu ada ide luar biasa gegap gempita mengenai sekolah sepanjang hari yang demikian panas menjadi bahan kajian, analisis, dan pembicaraan yang berkelanjutan hingga kini pun belum usai juga.

Apa yang menjadi keprihatinan di sekolah itu beribu-ribu kasus kalau berbicara kasus, selain sistem yang tidak jelas mau apa dengan pendidikan kita. Soal penilaian yang tidak pernah usai, bagaimana 17.000 pulau yang demikian luas, panjang kali lebar ini tentu memiliki berbagai ragam kualitas dan taraf pendidikan, apakah bisa disatukan dalam sebuah program dan sistem yang begitu saja didrop dari atas? Bukan hendak merendahkan kualitas njomplangnyapendidikan, namun tidak bisa satu program seragam seluruh Indonesia.

Kualitas guru. Persoalan sepertinya selesai dengan sarjanisasi beberapa tahun lalu. Baik bisa diterima dan disepakati, bahwa sarjana strata satu bisa diandaikan mumpuni untuk mengajar. Namun apakah benar demikian?

Sertifikasi guru. Dulu, sering lagi yang didendangkan itu soal gaji kecil, guru tidak sejahtera, dan akhirnya mempengaruhi kualitas pendidikan. Apakah ini sudah merupakan kajian mendalam atau hanya klaim dan asumsi semata? 

Apakah birokrat sudah tahu dengan baik bagaimana kejadian yang sesungguhnya di sana, rebutan jam mengajar, meninggalkan kewajiban demi mendapatkan sertifikat, tidak ada perubahan kualitas mengajar selain gaya hidup yang berbalik, dan remeh temeh yang tidak pernah terpikirkan ketika membuat program itu.

Permasalahan kurikulum yang tidak aplikatif dan menyentuh esensi pendidikan dan mengubah jiwa peserta didik, selain mengakomodasi soal kemampuan. Menjejali anak didik dengan hal yang tidak esensial. Ganti berganti kurikulum namun masih sama saja, karena tidak adanya evaluasi dan sosialisasi, selain soal proyek dan ganti menteri ganti buku.

Kekerasan demi kekerasan pendidikan, bagian utuh atas kekerasan bangsa ini.

Ada sebuah keyakinan yang mengatakan kalau mau melihat kualitas sebuah bangsa lihat saja jalan raya. Kita tentu paham bagaimana jalan raya itu adalah diri kita, umpatan, saling serobot, tanpa aturan, dan lengkap soal ketidakapun di sana. 

Padahal anak sekolah juga mengawali kegiatan di sana, di jalan raya. Kita bisa membayangkan bagaimana anak-anak ini dominan sudah mengawali harinya harus dengan omelan untuk membangunkan mereka mengawali hari. Sikap tanggung jawab baik dari orangtua dan anak yang lemah.

Bagaimana mengawali hari dengan “panas begitu,” kemudian di jalan dipenuhi dengan lalu lintas yang tidak karu-karuan, anak sudah merekam “kejam” dan “keras”-nya jalanan kita. Ditingkahi dengan semrawutnya lalu lintas dan jalanan yang kacau balau.

Ketegangan demi ketegangan ada di sana. Bagaimana pendidikan akan bisa berjalan dengan baik kalau anak sekolah harus mengawali hari dengan demikian. Salah satu budayawan Jateng bernama Prie Gs, mengatakan kalau jalanan Indonesia dipenuhi oleh orang marah dan frustasi karena makan sapi yang tidak mati istiqomah. 

Saya membahasakan bahwa makanan yang dikonsumsi itu matinya dengan tidak tenang, stres, dan sangat ketakutan, dan itu berimbas pada perilaku keseharian kita. Ia membandingkan penyembelihan di luar negeri yang membuat hewan itu tenang dan tidak mengalami ketakutan yang amat sangat. Makanan tidak sehat, dan sangat tidak berimbang membuat orang menjadi gampang marah, gampang meledak hanya dengan alasan sangat kecil.

Pendidikan itu membutuhkan keteladanan. Bagaimana anak bisa toleran ketika pejabat yang berwenang pun mengajarkan sikap intoleran, suka kekerasan dan perebutan, ingat kekerasan bukan hanya fisik namun juga verbal, bahasa tubuh, dan sikap menantang, meremehkan, melecehkan, dan mengintimidasi, serta arogansi  itu dengan mudah kita jumpai, dan anak didik merekam itu setiap saat.

Apakah sekolah sepanjang hari itu buruk? Sama sekali tidak, namun masih banyak hal yang mendesak untuk diperbaiki. Perbaikan itu ada di sekolah, dan itulah akar seluruh persoalan di negara ini. harapan baik kala UN bukan algojo akan kelanjutan masa depan anak sekolah, jangan lagi nanti dikembalikan ke posisi semula. Patut disyukuri soal ini.

UN dulu itu berkaitan sangat erat dengan kejujuran dan penghargaan akan proses. Dulu potong kompas dan soal kecurangan jangan diharapkan. Dan ini sudah bisa diatasi meskipun belum seluruhnya usai.

Soal seleksi dan pendaftaran siswa baru. Pendidikan gratis itu tidak tepat, namun bahwa sangat mahal yang tidak wajar juga menjadi persoalan yang sangat mendesak untuk diatasi. Banyak mahal yang tidak semestinya. Seragam dan buku yang berlebih-lebihan. Ini perlu perhatian mengenai pendidikan sangat mahal.

Keteladanan, ini jelas pekerjaan keras dan besar dari para elit untuk menahan diri untuk tidak bertikai, berebut dengan berlebihan, sikap toleran, memberikan kesempatan, dan mengubah paradigma kalah menang menjadi menang-menangperlu lebih dikelola dan dikedepankan. Hal ini masih sangat lemah.

Kebebasan berekspresi yang bertanggung jawab, termasuk di sekolah tentunya. Anak didik perlu diberi ruang untuk mengeksplorasi dan mengekspresikan diri secara luas dan leluasa. Hal ini bisa terjadi jika kurikulum, guru dan tenaga kependidikan telah profesional, dan sistem bernegara yang sehat telah terjadi.

Kekerasan demi kekerasan yang tercium di media, hingga persidangan, dan lapor demi laporan hanyalah fenomena gunung es atas kasus yang tidak pernah diselesaikan selama ini. Berjuta kasus yang akhirnya berimbas juga ke dunia pendidikan. Dunia yang diharapkan membawa harapan namun malah menyajikan data sebaliknya.

Benahi pendidikan dan akan diperoleh bangsa yang maju itu bukan hanya isapan jempol. Jika masih seperti ini, jangan harap akan ada perubahan yang signifikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun