Kian hari kian ramai soal siap yang layak berhadapan dengan Ahok. Beberapa bulan lalu masih banyak yang sangat pedeuntuk melawan Ahok. Tidak heran banyak yang sambil cengengesan berbuat untuk menaikkan nilai tawarnya. Ada yang makan di pinggir jalan, membela warga yang mau ditertibkan, melamar ke semua parpol padahal selama ini paling sengit kalau berkaitan dengan parpol itu. Mengunjungi ketum parpol apa saja, bahkan yang dulu pernah dicelanya, dengan istilah dikemas kegiatan sosial, personal, agamis pula. Menjalin tali silaturahmi.
Waktu berganti dan kini angin berubah. Yang dulu berkepercayaan diri sangat tinggi, kini mlau menjaga jarak dan diam saja, Dan malah yang sama sekali tidak pernah terdengar gerakan sama sekali ada yang sudah mendaftar secara mandiri, (seperti calon mahasiswa baru saja).
Parpol yang sekejam ibu tiri itu pun belum jelas mau apa. Masih banyak orang masih digodog gerombolan mereka, belum ada satu nama yang jelas dan pasti, selain Sandiaga Uno yang telah didukung partainya, meskipun sebagai apa masih bingung juga (bahasa politikus itu dinamis, padahal kalau abg ya galau itu).
Masih santer nama Sjafrie S, Djarot, Budi W, Yoyok, Yoto, Yusril, dan paling nyaring ya Risma. Persoalan menarik ketika Risma ini sangat jelas tergantung Bu Dhe Ketum. Karena mekanisme partai sudah terlampaui yaitu mendaftar dalam penjaringan, berbeda dengan Yusril dan Lulung. Bu Risma sepenuhnya tergantung Bu Mega.
Semua tokoh itu sudah biasa, ramai diperbincangkan, dan memang berkompeten dan sudah teruji paling tidak di depan pandangan politikus, ingat bukan parpol tapi kata politikus saja. Gerombolan parpol di dalam koalisi kekeluarga ala warkop ini memang nampak bukan atas nama parpol tapi maaf cenderung barisan sakit hati, beberapa pentolan mendiang KMP, tambah faksi gege mangsaPDI-P, dan ini akan sangat cepat usai tanpa adanya hasil yang memuaskan semua pihak. Bagaimana bintang tujuh tidak pusing tujuh keliling menentukan siapa jadi apa, memangnya ada yang mau gratisan di benak politikus itu?
Padahal ada dua alternatif yang sama sekali belum disebut, dan itu ada di gerombolan kekeluargaan warung kopi,
Pertama, Deddy Mizwar,wagub Jabar yang aktif, terkenal dan populer, wira-wiri di media, sebaai bintang iklan bukan sebagai pejabat publik. Menarik adalah selama ini belum ada yang melaporkan ini itu soal kinerja wagub ini, jelas bandingkan Ahok yang “diancam” oleh dewan, dilaporkan KPK, bareskrim, BPK, dan satu yang belum ke Tuhan. Berarti sangat hebat dibandingkan Ahok, santun, lemah lembut, tidak pernah ngamuk di depan publik, dengan gubernur juga tidak pernah bertikai. Baik dengan anak buah, makanya diiklan pun, menggambarkan ajudannya diberi tahu mana yang harus dipilih agar sehat. Hebat bukan?
Kedua, Eko Patrio,anggota dewan pusat ini juga hebat, populer, tenar, tentu pemilih akan banyak, santun, belum pernah marah kepada konstituennya, murah senyum, mudah membuat tawa malah, kan pelawak, sama sekali belum dilaporkan ke mana-mana, pak RT saja belum pernah dilapori, jelas antitesis Ahok banget kan? Masih nge MC, rendah hati lagi, jelas setiap saat masih nongol di televisi, jadi warga Jakarta tentu tidak akan lupa, jika menjadi calon sangat familiar.
Beberapa kelompok kan mengatakan Ahok tidak pantas karena pemarah, kasar, menang sendiri, selalu merasa benar, semua dicurigai dan dia sendiri yang lurus, antipartai, tidak konsisten. Bahasanya tidak santun, tidak disukai rakyat, tukang gusur, dan sejenisnya.
Kedua kandidat itu kan jelas sekali “pantas” kalau kriterianya antiatas perilaku Ahok sebagaimana di atas. Mana pernah Deddy Mizwar dan Eko itu marah, menggebrak meja, membentak dewan atau rakyat, atau anak buahnya? Sama sekali belum bukan?
Jelas anak kandung parpol masing-masing, mereka berdua punya parpol yang sangat mendukung dan loyalitasnya ke parpol sangat pantas. Keduanya pun ada di gerombolan kekeluargaan itu. Klop bukan?