Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Wacana Sekolah Full Day, Dalam Pengalaman dan Pengamatan

9 Agustus 2016   10:49 Diperbarui: 9 Agustus 2016   10:57 879
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama,soal pendidik yang pertama dan utama adalah orang tua, bagaimana hal ini “cenderung” diambil alih dan diserahkan ke pihak lain dalam hal ini sekolah, apakah tidak menyalahi hakikat pendidikan itu sendiri? Ini bukan soal benar dan salah namun soal lebih baik mana, baik dan baik, tentu ada yang lebih baik.

Kedua, mau apa, “penambahan jam” itu. Sangat mudah dan sudah biasa bagi sekolah kejuruan. Memang bisa dengan pembinaan iman, pembangunan karakter, dan ekstrakurikuler itu disatukan dengan intrakurikuler. Namun perlu diberi payung hukum, fasilitas, terutama bagi sekolah yang tidak favorit, hal ini tidak mudah.

Ketiga,bagaimana kualitas keluarga tenaga kependidikan secara intensitas dan kebersamaan? Memang anak-anak akan dibina dengan baik oleh guru-guru, namun bagaimana fungsi keluarga jika demikian?  Guru dan tenaga kependidikan yang lain bagaimana peran mereka di masyarakat dan keluarga jika sepanjang hari di sekolah?

Keempat,ini pengalaman benar-benar dialami, kala Pak Gubernur Bibit Waluyo menjadikan guru sama dengan pegawai lain pulang pukul 14.00, waktu itu keluhannya adalah apa yang dilakukan guru disekolah usai mengajar. Ingat SD paling cuma sampai pukul 12-13. Ini perlu dipirkan lagi.

Kelima,   bagi sekolah kuat, negeri, dan ada di kota besar hal-hal ini tidak akan menimbulkan persoalan yang pelik. Namun bagi sekolah swasta kecil, di pinggiran apalagi pedalaman tentu masalah besar.

Keenam,soal dunia anak. Dunia anak itu perlu pergaulan, main, dan kebebasan. Keluhan saat sekolah mulai mencoba sistem akselaris beberapa tahun lalu, anak menjadi nakal pas di rumah, merasa kecapekan, dan akibat buruk lainnya.

Ketujuh, soal teknis lain seperti makan siang, soal pembeayaan karena jam kerja, mau diberi apa usai intrakurikuler, dan persoalan dunia anak yang lainnya perlu pendalaman yang lebih banyak lagi. Pendalaman berarti bukan hanya soal melihat di negara X baik, ikut tanpa ada penelitian yang menyeluruh dan mendalam sesuai dengan konteks, budaya, sosiologi, dan psikologi anak Indonesia.

Ide atau wacana ini sebenarnya tidak benar-benar baru dan sudah diterapkan di banyak sekolah. Sepanjang saya tahu sekolah-sekolah kejuruan setingkat sekolah menengah atas banyak dan jauh lebih baik. Tentu jenjang berbeda seperti sekolah dasar dan sekolah menengah pertama belum bisa dikatakan baik dan benar.

Anggapan bahwa semakin panjang jam belajar baik juga perlu ditinjau lagi. Sebagai contoh, belajar 1 x 5 jam jauh lebih baik dari pada 5 x 1 jam. Artinya bahwa sama-sama 5 jam namun dengan cara membagi-bagi jauh lebih efektif. Panjangnya jam pelajaran belum menjadi jaminan kalau, tidak dibarengi dengan model pembelajaran yang menempatkan anak didik pada posisi dan porsinya. Jangan malah menimbulkan friksi-friksi baru karena emosional, soal kelelahan dan sebagainya.

Ide dan gagasan itu baik, namun apakah baik ketika ada persoalan-persoalan lain yang tidak kalah mendesaknya, perlu perhatian sangat penting dan mendasar seperti mahalnya pendidikan, ini sesuai dengan  gagasan presiden soal kemandirian, bagaimana mau mandiri kalau sekolah saja tidak bisa karena mahal?

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun