Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Perbedaan Antara Risma dan Ahok

9 Agustus 2016   06:31 Diperbarui: 9 Agustus 2016   07:39 2618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua nama yang paling menjadi buah bibir di saat pemilukada. Pas di Surabaya Risma tidak ada lawan, lawan kalah sebe,um bertanding, kalau anak sekolah mungkin sudah sakit perut sebelum ujian, para rivalnya. Satu lagi nama yang mirip-mirip pas di Jakarta Ahok ini tidak ada lawan yang sepadan, namun hasrat parpol ataupun ormas berlomba-lomba mencoba menggagalkan, tetap saja hingga detik ini belum ada yang muncul untuk melawannya. Kalau abgnantang-nantang tapi gak pernah datang.

Ada beberapa hal menarik mengenai keduanya. Baik yang mendukung Bu Risma ataupun Pak Ahok gak perlu sensi berlebihan apalagi menghujat, santai saja buat humor di saat panas antara anti atau pro siapapun itu.

Perbedaan pertama,jelas saja semua orang tahu, tidak perlu ahli politik, atau ahli moral, Pak Ahok laki-laki, dan Bu Risma perempuan. Tentu tidak ada yang mau dan bisa mendebat, kecuali sudah saking stres akut masih mempersoalkan. Mereka berdua berbeda.

Perbedaan kedua,ini juga berbeda, bagaimana Pak Ahok itu gubernur   dan Bu Risma walikota, berbeda bukan? Hal  ini pun bagi pendukung ataupun anti masing-masing tidak bisa menyangkalnya, kecuali stres akut.

Perbedaan ketiga,Ahokpernah jadi wakil gubernur, wakil rakyat juga, Risma sama sekali belum pernah jadi wakil di jabatan strategis itu. Risma orang birokrasi tulen.

Perbedaan keempat, Ahok ditolak parpol, ini ada tujuh koalisi  parpol pemilik kursi di DKI, mereka berupaya  bersatu yang penting bukan Ahok. Berbeda dengan Risma, potensi disuka oleh ketujuh parpol jelas lebih besar. Tidak heran mereka yang selama ini anti A anti B bisa tiba-tiba paling lantang mendukung dan justru paling keras menarik Risma.

Perbedaan kelima,Ahok dikeroyok, kembali buktinya adalah koalisi bintang tujuh ini, mereka pasti tidak akan mengakui seperti bahasa mengeroyok, tapi dengan model lainnya yang tetap saja intinya begitu. Berbeda dengan Risma, justru parpol melarikan diri dan Risma tidak ada calon. Surabaya waktu itu sampai bingung, KPU pusing karena tiadanya calon, bisa-bisa pilkada tidak berlangusng. Pendaftaran diulang, mendaftar tinggal dicatat, si calon ngacir melarikan diri, entah dagelan macem apa politikus dan parpol Indonesia ini.

Perbedaan keenam,Ahok ditolak dengan keras oleh faksi-faksi di elit PDI-P, Risma ditarik-tarik  faksi-faksi elit di tubuh PDI-P. Belum pernah sepanjang saya ingat selucu dan sesengit ini pilkada itu, lainnya biasa saja kog.

Perbedaan ketujuh,Ahok ngebet jadi calon gubernur, tidak heran ia punya relawan TA dan didukung tiga parpol, Risma malah enggan dijadikan calon.

Perbedaan kedelapan,Ahok menantikan jawaban “YA” dari PDI-P, Risma hendak menyatakan “TIDAK”  ke PDI-P.

Dengan fenomena yang ada, kekhawatiran Risma hancur lebur di Surabaya dan Jakarta, bisa saja keduanya disatukan. PDI-P tidak perlu susah-susah dan semua senang.  Kampanye gratis selama ini bisa menjadi iklan gratis tanpa dipantau pelanggaran oleh Panwaslu.

Soal Jatim-1 yang dikhawatirkan oleh sebagian kelompok, bisa diatasi Pak Djarot pulang kampung. Mudik untuk bangun daerah asal, pengalaman di Jakarta tentu lebih meyakinkan untuk membuat perubahan di Jatim.

Surabaya satu sebagaimana telah heboh jauh sebelum pilwakot edisi lalu, juga bisa menyenangkan elit PDI-P di sana yang gatal untuk menduduki namun “takut” dan kalah pamor oleh Risma. Semua senang, semua dapat jatah, dan semua girang tentunya. Soal kualitas dan pembangunan ya belum tentu seperti yang sudah terjadi.

Sebenarnya kalau parpol itu dewasa, melihat kinerja, dan menghendaki kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa melalui daerah, kisah koalisi besar antiahok atau ketakutan melawan Risma di Surabaya waktu itu tidak perlu terjadi. Dukung sepanjang tidak melanggar UU (gak perlu sensi, baca baik-baik), dan demi kesejahteraan rakyat, bukan karena suka atau tidak semata.

Parpol belum dewasa sehingga tidak berani menyatakan kekalahan itu sebagai bagain utuh atas kemenangan. Pengawasan di dewan itu juga demi kesejahteran rakyat dan pembangunan. Tidak berani kalah karena memandang eksekutif itu lumbung uang yang bisa dipakai dengan leluasa. Paradigma yang perlu diubah.

Kaderisasi dagelan ala demokrasi akal-akalan. Hal ini menyebabkan pokoknya populer termasuk kambing dibedakipun bisa dicalonkan. Lihat saja mana ada kader-kader parpol yang menjaul secara luar biasa. Selama ini adalah oran-orang baik, kompeten, mau bekerja keras yang kemudian didekati parpol dan ya melenggang, kemudian diberi jas parpol dan diklaim sebagai kader terbaik.

Deparpolisasi itu ulah politikus sendiri. Semua membuat rakyat malas melihat pesta pora mereka di dalam mengelola negara dengan cara seenak udelnya sendiri. Tidak perlu risau dan galau kalau memang sudah bekerja pada koridor UU dan etik yang ada.

Apakah dua kisah di dua kota terbesar di Indonesia ini akan terulang terus dan terus? Sepanjang orang tidak taat azas dan hanya mengandalkan suka atau tidak, ya akan terulang. Kapan dewasa jika masih sebatas suka dan tidak? Apa bedanya dengan anak TK yang tidak suka kemudian tidak mau makan? Pembangunan ke depan bukan soal suka atau tidak. Namun benar atau tidak.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun