Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Untung Rugi Pilihan Ahok

29 Juli 2016   07:00 Diperbarui: 29 Juli 2016   07:40 1389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untung Rugi Pilihan Ahok

Berita yang heboh dan hangat kemarin tersaji. Soal resuffle yang mengagetkan dengan beberapa orang sama sekali tidak diprediksi dan yang layak diganti dalam kacamata publik masih dipercaya presiden. Hingar bingar dan telaah demi telaah hadir. Satunya lagi soal pilihak Gubernur Ahok memilih mercy dan “seolah” meninggalkan bus kota. Dua kubu yang selama ini berseberangan soal pilihan Ahok mendapatkan amunisinya kembali.

Berdirinya TA dan lahirnya jalur independen untuk Ahok.

Wajar bahwa Ahok memikirkan jalur alternatif yang dipandang bisa mengantarnya menjadi cagub apalagi  gubernur lagi. Berbagai alasan pantas menjadi pertimbangan. Pertama, perilaku parpol yang seenaknya sendiri memperlakukan calon. Pengalaman beberapa pilkada di daerah lain telah menjadi bukti bahwa mereka bisa tiba-tiba batal atau ditinggalkan bacalonnya, dalam hitungan detik. Tentu Ahok telah memperhitungkan itu, seandainya, seperti lawakan Srimulat, namun ini serius.

Kedua.Jalur alternatif, independen itu sah secara hukum. Wajar saja ketika jalur utama tidak ada kendala maka, jalur alternatif itu tidak ditempuh. Ingat, jalur alternatif kalau mudik itu biasanya banyak catatan, minim rambu, sempit, lebih jauh, dan relatif lebih buruk infrastrukturnya. Tidak heran ketika revisi UU pilkadapun ternyata membebani jalur independen ini. Sudah susah dipersulit lagi.

Ketiga,komunikasi yang memburuk dengan parpol bisa terjembatani. Ingat lontaran keras dari salah satu petinggi parpol soal deparpolisasi, meskipun jauh dari yang sebenarnya. Begini, suka atau tidak bahwa parpol memang menjengkelkan, namun masih menjadi jaminan bisanya maju dalam pilkada, dan harapannya lebih mulus dalam perjalanan pemerintahan.

Keempat,idealisme anak muda dan banyak pihak, namun ketika gubernur sebagai sarana bersih-bersih itu tidak digapai, untuk apa coba berlelah-lelah selama ini? Apa yang mau diharapkan, hanya gagal di tengah jalan. Suka atau tidak memang parpol masih lebih mudah dan menjanjikan.

Kelima, jalur independen relatif lebih berliku, susah, apalagi dengan tambahan verifikasi faktual, selain soal permainan bisa terjadi di sana, ada jaminan lain yang relatif lebih mudah dan menjanjikan, mengapa harus memaksakan diri.

Keenam. Jalur independen itu sebenarnya  biasa, wajar, dan sudah banyak mengantar pimda ke pucuk pimpinan, mengapa hanya DKI Jakarta saja yang sepertinya  menjadi heboh dan ramai? Apa bukan karena pribadi bukan soal cara?

Ketujuh, soal kekhawatiran bahwa parpol menjegal program kerja sebenarnya sama sekali tidak berdasar, jika jadi gubernur, bukan calon. Bagaimana selama ini nyatanya parpol dalam hal ini dewan bisa diatasi, relawan TA bisa menjadi penyemangat jika parpol macam-macam.

Kedelapan,relawan dan TA sebagai jalur alternatif, patut berbangga bahwa bisa “menekan” parpol untuk akhirnya bisa menjadi kendaraan menuju DKI-1. Apa artinya? Bahwa semua adalah kendaraan, ketika yang reguler berjalan baik, mau tidak mau, suka atau tidak, tentu “cadangan” itu legawa,dan tidak perlu ngambeg, merasa terhina, dan tersisihkan. Sama sekali tidak.

Pengalaman ini memberikan gambaran soal apa yang bisa dilakukan oleh calon pimpinan daerah lainnya. Parpol bukan harga mati, dan itu sudah banyak dibuktikan. Salah satunya kali ini via Ahok.

Semua bisa seiring sejalan di dalam mengantar Ahok menjadi salah satu kandidat di dalam pilkada. Apa yang sudah dilakukan TA selama ini telah memberikan gambaran bahwa paling tidak sudah ada pemilih sejumpah satu juta. Tentu bukan angka  yang kecil untuk menggapai DKI-1.

Tentu banyak yang kecewa ketika menghendaki idealisme berkaitan dengan perilaku parpol yang menjengkelkan, namun hal ini tentu bisa diminimalisir dengan memilih bahwa pilihan ini tidak ada yang salah dan melanggar hukum, tentu tidak perlu ada yang dipersoalkan.

Soal mahar politik yang sempat mengemuka kala itu juga bisa diatasi. Parpol tidak lagi jual mahal dengan pola pendekatan ini, karena toh parpol gagal menyajikan kader terbaik mereka sendiri. Hal ini tidak bisa disangkal dan dipungkiri.

Menunjukkan bahwa selain parpol pun bisa menjadi pimpinan daerah, soal parpol mendukung itu masalah yang berbeda. Hal ini banyak sebenarnya, namun fenomena DKI-1 menjadi bukti yang semakin jelas dan terbukti.

Salah satu bukti kegagalan parpol melahirkan kader terbaik untuk menjadi pimpinan daerah termasuk pusat. Parpol galau dan malah kembali mencalonkan para maling seperti di beberapa daerah, termasuk di legeslatif, banyak orang baik namun parpol yang selama ini menutup diri sering menghambat orang baik ada di posisi baik pula.

Yang dimaui itu Gubernur Ahok dengan kinerjanya, atau cara ia menjadi gubernur? Jika cara yang dipakai masih sesuai dengan perundang-undangan, tidak melakukan suap, korupsi, dan merugikan, tentu tidak ada masalah. Apa yang  diinginkan bukan soal cara namun bagaimana Ahok masih bisa bersih-bersih, coba jika idealis ini dan itu malah tidak jadi gubernur, apakah bisa bebersih lagi?

Mau Ahok jadi gubernur dan membersihkan DKI atau suka dengan cara dia menuju tangga gubernur yang belum tentu bisa menjadi gubernur?

Salam

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun