Antony de Mello memberikan penekanan mengenai kesadaran jauh lebih bermakna daripada sekedar informasi. Menarik adalah pendidikan dan kebiasaan bangsa ini menguasai banyak informasi tanpa adanya kesadaran. Belajar dari beberapa kisah berikut:
Seorang ibu sekaligus guru. Sepanjang perjalanan dari parkiran hingga ruang kantornya, ia menanyai anaknya dengan daftar pertanyaan. Sekitar seratus pertanyaan yang diulang-ulang. Si anak mendapatkan daftar pertanyaan tersebut dari guru kelasnya. Ironisnya adalah ulangan harian akan sama persis dengan apa yang sudah “dihafalkan” dari daftar pernyataan tersebut. Lebih memprihatinkan lagi, murid bisa mendapatkan daftar sakti tersebut jika mengikuti les yang diselenggarakan sekolah dan guru lesnya adalah guru kelas yang bersangkutan. Anak ini wajahnya sangat jenuh dan jengkel, antara ngantuk, menghapal, dan takut ibunya juga gurunya. Entah sudah berapa puluh kali putaran soal dibacakan dan dijawab.
Anak sekolah sekarang sudah tahu hasil akhir sekolahnya pasti lulus, pasti naik, walaupun di kelas dia tidak buat apa-apa. Kembali kisah nyata. Ada anak sama sekali tidak menjawab ujiannya dengan lembar jawab kosong melompong selama dua pertiga waktu ujiannya. Tinggal 20 menit terakhir ia silang saja lembar jawab dengan serampangan. Toh meskipun ia tahu hasilnya pada kisaran tiga ke bawah di raport ia akan mendapatkan angka 7.5 sebagai KKM.
Dalam salah satu materi mengenai persaudaraan, sub tema yang ada adalah pacaran. Ketika ditanya siapa punya pacar, hampir semua anak kelas tujuh menjawab punya. Ditanya anak mana pacarnya, tidak tahu, kapan kenal, baru sebulan, kenal di mana, di FB. Apa artinya, bahwa mereka tahu namun tidak mengerti apa yang dimaksud dengan banyak istilah dan definisi.
Kasus atau kisah di atas adalah kejadian nyata. Anak lebih banyak menghafal dan mendapatkan informasi begitu banyak, namun tanpa tahu apa artinya. Akibatnya adalah anak merasa bosan dan tidak tertarik untuk belajar. Anak yang suka nilai bagus akan “menghafalkan” daftar pertanyaan dan jawaban yang sudah tersedia di sana. Namun itu bagi banyak anak sangat membosankan, dasar manusia itu eksplorasi diri bukan sebatas nilai.
Informasi perlu diperdalam dengan pemaknaan sehingga ada arti yang lebih dalam yang menimbulkan kesadaran. Peta buta atau daftar kota ini di sini dan kota itu di sana, seolah sepele, namun bagaimana orang bisa tersesat sangat jauh jika tidak menguasai dengan baik. Contoh dari Jakarta hendak ke Purwokerto, namun salah naik bus ke Purwakarta. Masalah yang identik banyak mengenai hal ini.
Lebih jauh bisa kita lihat dari perilaku koruptor alias maling di negara ini. Bagaimana mereka jelas tahu bahwa maling itu melanggar hak milik orang lain. Namun masih saja maling. Merusak pembangunan masih juga mereka lakukan asal mereka kaya. Sikap tanggung jawab juga tidak ada, jawaban pasti akan ngeles bahwa mereka tidak merugikan negara, tidak maling, namun dizolimi, dijebak, konspirasi, dan ngeles lainnya.
Menghapal bukan mengerti, akibat dari pola ini adalah, bisa mengartikan sesuai kepentingan sendiri. Lihat bagaimana pejabat kita bisa seenak udelnya sendiri memaknai apapun sepanjang menunjang kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Informasi itu banyak, data itu melimpah namun tidak ada kedalaman arti dan makna, sehingga bisa seenaknya sendiri mengartikannya.
Sikap menghargai perbedaan menjadi sangat rendah. Pendidikan yang berorientasi pada hasil, bukan proses. Kelas itu monolog, dari guru yang harus didengar dan diingat, anak tidak memiliki kesempatan berpikir berbeda. Berbeda itu salah. Daftar pertanyaan dan daftar jawaban adalah kunci mendapat nilai baik, namun bukan kemampuan yang baik pula. Akibat lebih jauh orang menjadi pembeli ijazah, gelar, bahkan jabatan.
Hal agama dan penghayatannya. Bisa dipastikan semua beragama, namun apakah sikap beragama telah menjadi jiwa masyarakat kita? Atau hanya di mulut dan aktivitas keagamaan semata, dengan penuhnya rumah ibadat namun penuh juga keculasan dan manipulasi? Informasi mengenai kebaikan dan pengetahuan agama tidak kurang, namun pemahaman menuju kesadaran dalam perbuatan masih sangat jauh.
Harapan perubahan telah ada. Sikap dan peran guru sebagai fasilitator bukan lagi sebagai “diktator”, tukang dikte harus diikuti perubahan perilaku dan cara mengajar guru. Jangan heran guru angkatan 74 masih eksis di era yang katanya K-13, artinya hampir seperempat abad perilaku yang sama masih kuat di sekolah-sekolah kita.
Menghapal itu tidak salah, namun kedalaman materi dan pemahaman tidak akan bertahan lama dan mendalam. Jika hanya ini Mbah Google saja cukup tidak usah ada guru. Mbak Wikipedia bisa menggantikan peran dan anak jauh lebih responsif untuk belajar. Apakah cukup demikian? itu hanya mengajar anak bukan mendidik anak.
Orientasi hasil memang telah dicoba dihapus, namun apakah pola pikir tenaga kependidikan juga telah berubah? Syukur jika sudah, namun menjadi tanya besar karena apa semudah itu mengubah perilaku dari orientasi hasil ke orientasi proses.
Bangsa ini tidak ketinggalan dengan bangsa besar lainnya mengenai penguasaan dan kemajuan IT, namun apakah sudah mampu menggunakan itu dengan penuh kesadaran dan pemahaman yang semestinya? Itu yang perlu mendapatkan perhatian.
Sumber: Awaraseness, Antony de Mello
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H