Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pokemon, Layangan, dan Break Dance, antara Larangan atau Kedewasaan Memilih dan Bersikap

24 Juli 2016   06:18 Diperbarui: 24 Juli 2016   08:34 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pokemon, Layangan, dan Break Dance, antara Larangan atau Kedewasaan Memilih dan Bersikap

Hari-hari ini sedang heboh soal games yang belum resmi rilis di Indonesia, Pokemon Go. Menarik adalah adanya larangan dan booming berita yang menyajikan PG dengan gegap gempita. Dari istana hingga kaki lima, dari anak-anak hingga dewasa, semua demam PG. Apakah bijaksana soal larangan itu?

Layangan,anak-anak terutama anak desa yang mempunyai lahan bermain luas tentu kenl akan permainan layangan. Permainan yang mengandalkan angin ini sering fokusnya adalah mendapatkan layangan putusnya yang lebih keren dan ramai. Mengejar layangan putus ini bukan soal yang sepele lho, kalau ada istana di desa, pasti juga akan dipanjat oleh mereka. Tonggak kopi menancap di kaki karena orientasi ke atas ke mana angin membawa layangan. Masuk got bukan hal kecil karena masuk sungai pun biasa. Memanjat rumah pak kades bukan soal besar bagi anak-anak. Berkelahi, padahal beli juga masih terjangkau, atau membuat. Dasarnya adalah prestise.

Masalah kedua adalah benang.Jangan dianggap sepele benang layangan ini, ada seorang gadis yang usai konsultasi skripsi harus terkapar di jalanan karena tersangkut benang layangan ini. hal yang sangat besar pengaruh dan bahayanya. Benang itu selain liat juga tajam karena dipakai untuk saling memutus benang lawan kalau ada kesempatan duel.

Konteks layangan di sini bukan layangan modern yang  mengandalkan keindahan bentuk dan ketrampilan melayangkan sebagaimana kontes layangan, namun layangan di kampung yang masih menjadi bahan rebutan meskipun hanya menghasilkan legamnya kulit.

Breakdance,awal 1980-an demam tarian ekstrem ini melanda. Patah tangan dan leher sering terdengar, meskipun tidak semasif pemberitaan sekarang, karena media kala itu sebuah barang mewah. Pemerintah langsung melarang bukan soal Barat namun soal bahaya yang mengancam. Anak-anak muda terutama abgkala itu merasa diri modern kalau mainkan tarian ini. Bahaya adalah patah anggota tubuh, main di jalanan yang bisa mengganggu ketertiban umum, lalu lalang kendaraan. Lebih banyak bahayanya daripada keindahannya pokoknya. (sepanjang ingatan)

Pokemon Go. Heboh luar biasa, entah persaingan bisnis, entah “kenaifan” entah gagap kekinian. Yang jelas bahwa banyak instansi, lembaga, dan tetek bengek membuat larangan ini itu, mulai memaikan hingga mencari si emon di tempat tertentu. Memang laporan sudah merebak ada yang jatuh ke kali, menemukan jenazah, menyewa taksi dan tetek bengek lainnya. Apakah bijak dan dewasa membuat larangan seperti polisi dilarang main games ini selama bekerja, bahkan ada kapolres yang mengecek hape anak buahnya demi melihat ada emon ada atau tidak.

Menarik adalah:

Jika emon dilarang dimainkan, lha memangnya si zuma,soccer, soliter, game house lain atau mbokep,di jam kerja boleh dan tidak merugikan? Apa yang dilakukan itu justru menujukkan sikap kekanak-kanakan. Banyak kog pegawai maaf seribu maaf, kalau pns dan asn itu lebih banyak ngegames daripada kerja (sedikit mikir buruk). Hanya karena emonlagi booming ramai-ramai membuat hal-hal yang lucu. Justru kecil kemungkinan main emon saat jam kerja karena ada aktivitas melangkah yang justru sangat kelihatan. 

Bahwa emon membahayakan, apa beda dengan layangan. Beda fokus kalau layangan ke angkasa ke mana angin membawa, emonke layar hape yang bisa membuat bencana. Ini hanya soal sikap dan kedewasaan kog.

Bangsa banyak larangan,adalah bangsa yang belum dewasa dan maju. Soal permainan saja heboh dan larangan demi larangan terbit. Tentu aparat, lembaga negara, dan yang berkepentingan tidak perlu hebih-hebohan namun bisa bersikap waspada. Ingat waspadabeda dengan curigadan paranoid.

Apa yang perlu dilakukan sebenarnya adalah sikap bertanggung jawabdantidak seenaknya sendiri.Jam kerja main gamesapapun, apalagi games,hape saja sangat tidak elok, beda lho dengan operator, dan bidang yang berkaitan dengan komunikasi, lihat saja kantor-kantor itu apa tidak sibuk dengan layar masing-masing? Sosmed lagi. Termasuk di sini adalah pelajar.

Larangandan imbauanboleh dan bagus sebagai antisipasi namun tidak usahlah heboh dan berlebihan. Dengan pemberitaan yang bertubi-tubi begitu mendorong orang justru tertarik dan mencari.  Hal ini justru promosi gratis bagi mereka.

Media kita, masih saja berkutat pada hal-hal yang heboh belum menyentuh yang esesial. Sekarang bagaimana mengawal kekerasan seksual anak, harga daging, darurat narkoba, maling, dan sejenisnya. Semua kalah oleh emon.

Pendidikan. Pendidikan kita belum mengajarkan sikap kritis, itu yang menjadi bangsa besar menjadikan kita pasar besar yang sangat menggiurkan. Sikap kritis dan nasionalisme yang rendah hanya bisa dibangun dengan pendidikan yang mumpuni. Guru tidak boleh gagap dan kagetan. Dengan demikian bisa mengajarkan kekinian dengan cara yang baik, mendasar, dan membekali anak didik.

Pokemon, gojeg, uber, layangan, ataupun breakdance,sebuah penemuan manusia. Perlu jerih payah olah pikir yang luar biasa. Bukan persoalan sepele lho, apresiasi sepantasnya. Pelarangan itu membunuh kreatifitas. Bagaimana negara yang gembargembor negara demokratis terbesar di dunia namun malah membungkam yang sepele?

Gagap kekinian yang disikapi dengan berlebihan. Sepakat bahwa beberapa tempat di larang, waktu tertentu dilarang, namun jika dewasa tentu hal tersebut sudah dengan sendirinya bukan?

Apakah akan selalu seperti ini bangsa ini menyikapi keadaan? Padahal banyak kisah yang identik dan mirip kalau mau berpikir panjang.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun