Ide baru dan bagus dari Kemendikbud ketika menggalakan perayaan tahun ajaran baru sebagai bagian penting pendidikan. Orang tua diharapkan mengantar anak yang masuk hari pertama pendidikan, ada sapaan dari kerabat bagi peserta didik baru. Jalinan komunikasi antara siswa, guru, dan orang tua memang bisa terjadi dan itu sangat baik dan apresiasi tinggi untuk itu.
Persoalan pendidikan yang selama ini berkutat antara komunikasi antara orang tua dan guru bisa terjembatani dan bisa diminimalisir tentunya. Harapannya tidak akan ada lagi pelaporan orang tua atas guru ke penegak hukum hanya karena persoalan sepele dan bukan hal yang fundamental. Atau siswa yang ketakutan sekolah karena melihat sosok guru yang menakutkan.
Ide bagus itu patut didukung oleh semua pihak, terutama orang tua, guru, dan lembaga di mana orang tua meminta izin untuk mendampingi anak. Sepakat dengan hal ini. Namun berdasar pengalaman, ada beberapa hal yang perlu dicermati:
Pertama, soal mentalitas pegawai dan pekerja kita yang lebih suka cuti, libur, dan mangkir dengan alasan yang dibuat-buat. Beberapa waktu lalu, usai adanya libur panjang Lebaran, Gubernur Ahok jengkel atas rusaknya alat absensi elektronik yang katanya kabelnya dimakan tikus. Kecurigaan adalah langsung mental malas dengan kambing hitam, tikus. Sudah tahu mau mangkir biar tidak tercatat mesinnya yang dibuat tidak bekerja sebagaimana mestinya.
Kecurigaan yang tidak jauh berbeda dengan dalih menghantar anak atas perintah Mendikbud, kemudian mengajukan cuti, terlambat masuk, dan mbolos, padahal sebenarnya hal itu bisa diatasi dengan baik, jika ada kehendak baik bersama. Misalnya izin datang terlambat jauh lebih bijaksana dari pada cuti. Bisa datang tepat waktu namun sedikit kerja keras bisa saja malas dan lebih baik berlambat-lambat.
Kedua, 'gerombolan' ibu-ibu yang mendapatkan kesempatan masuk ke sekolah. Pengalaman di sebuah sekolah, ketika ibu-ibu mendapat akses ke lingkungan sekolah, mereka susah untuk diberitahu mana yang boleh dan tidak. Sikap protektif berlebihan seperti menunggui anaknya di pintu, jendela, dan depan kelas sangat menghambat guru saat mendidik.
Ketiga, berkaitan soal akses masuk lingkungan sekolah, ini pengalaman juga, orang tua yang 'kuat' bisa menguasai sekolah dan mengatur sekolah. Kerja sama dengan oknum sekolah yang gila materi bisa berbuat banyak hal yang justru berlawanan dengan esensi pendidikan. Misalnya soal kebocoran soal, masalah cara mendidik siswa yang tidak disukai guru lain dan diamini orang tua murid bisa menjadi masalah. Contoh ada guru yang disiplin, namun ada oknum guru yang suka murid apa adanya asal ada 'suap' dari orang tua. Akses masuk sekolah bisa menjadi masalah lebih besar.
Keempat, rekan guru memiliki peribahasa khusus, Tembok China pun Runtuh karena Roti. Pengalaman membuktikan bahwa satpam atau guru setegas apapun bisa runtuh kalau mendapatkan roti sebagai suap awal agar mendapatkan izin bisa masuk ke lingkungan sekolah dengan berbagai alasan dan dalih. Ini nyata pengalaman benar-benar terjadi.
Kelima, sekolah swasta khususnya akan merasakan efek yang besar, karena izin masuk yang idenya baik ini dipakai untuk 'memata-matai' sekolah atau kelas bagaimana cara guru mengajar di kelas bisa menjadi promosi buruk yang sangat signifikan. Misalnya ada guru yang sangat disiplin sedang banyak orang tua yang tidak sepakat dengan cara demikian, habis sudah berita di luaran sekolah itu jelek. Hanya karena beda sudut pandang.
Keenam, hal ini kembali soal pengalaman atau fakta. Ibu-ibu berkumpul itu isinya adalah bincang-bincang yang sering berlebihan dan jika tempat mereka berkumpul dekat kelas, jangan harap guru dan siswa di kelas tersebut tidak terganggu kehadiran mereka.
Apa yang bisa dilakukan agar jauh lebih efektif dan berdaya guna?
Satu, kesadaran bersama bahwa para pegawai dan pekerja juga memiliki tanggung jawab lain yang juga tidak kalah penting. Dengan demikian bisa berjalan seiring jalan sebagaimana ideal dan yang dicita-citakan.
Kedua, orang tua memiliki pemahaman yang baik bahwa sekolah tentu tahu yang terbaik bagi anak didik mereka, dan tidak perlu mempengaruhi kebijakan sekolah dengan berbagi cara. Apalagi kalau kerja sama dengan oknum sekolah.
Ketiga, semua pihak tahu batas dan kapasitas serta tanggung jawab masing-masing. Komunikasi jauh lebih penting dari pada hanya hubungan atau relasi pribadi per pribadi yang bisa merusak sekolah secara umum.
Keempat, sekolah menerapkan aturan dengan tegas dan menjadi pemahaman seluruh pihak, sekolah, orang tua, dan tentu harus ditaati bersama. 'Suap' tidak lagi mempan. Batasan mana orang tua bisa masuk, mengakses lingkungan sekolah, dan tidak bisa seenaknya sendiri masuk hingga ke kelas tanpa alasan yang mendasar.
Ide baik perlu didukung. Catatan kecil di atas benar-benar terjadi dan menjadi persoalan. Semua itu bukan untuk menghambat program baik ini, namun masukkan agar tidak malah menjadi simalakama di kemudian hari.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H