Melihat banyak banner, spanduk, kadang iklan, dan petunjuk di tepi jalan menjadi risih karena banyak yang lucu. Lucu bukan dalam arti dagelan, namun aneh dan tidak pada tempatnya. Bisa terbaca sebagai sikap abai, melepaskan tanggung jawab, dan seolah membela kejahatan dan menyalahkan korban.
Banyak contoh yang jelas-jelas terpampang di depan mata,
Jangan lupa kunci ganda agar kendaraan Anda aman. Jauhi tempat sepi agar tidak menjadi korban penodongan. Jangan membawa perhiasan berlebihan agar tidak menjadi korban penjambretan. Paling parah itu jargon acara televisi, kejahatan itu karena ada kesempatan. Alangkah bijak dan lebih religius, ingat ini negara beragama, janganlah mencuri, jangan merampok, dan jangan mengambil apa yang bukan menjadi milikmu.Tentu hal ini menjadi gambaran jelas bahwa motivasi kejahatan itu dari diri sendiri dulu, bukan malah “menyalahkan” para pemilik barang. Jangan salahkan pula bahwa para maling, termasuk maling berdasi cokokan KPK itu tidak merasa bersalah karena memang ada “pembenarnya.”
Hati-hati, jalan berlubang dan bergelombang. Ini bukan persoalan alam dan teknis sebagaimana peringatan untuk hati-hati karena ada turunan curam dan tikungan tajam. Kalau jalan bergelombang dan berlobang itu diperbaiki, bukan diwartakan dengan spanduk. Peringatan itu baik sepanjang ada perbaikan, kalau berbulan masih demikian, namanya abai dan tidak bertanggung jawab.
Jangan memakai pakaian yang menggoda,memangnya yang memerkosa itu pakaian, bukannya otak pelakunya? Sepakat bahwa pakaian itu bisa menggoda, bisa menjadi pemicu, dan itu hanya salah satu faktor. Jauh lebih penting adalah menanamkan penghormatan akan lawan jenis.
Jangan heran kalau sering negara atau masyarakat ini menyelesaikan masalah dengan masalah baru karena berkutat dengan bukan akar masalah. Sering pula konsep pemikiran saja salah kaprah. Seperti contoh, menanak nasi,ini salah namun dianggap benar, yang benar adalah menanak beras. Banyak hal kita melakukan kesalahan sebagai hal yang benar karena sudah umum dilakukan dan seperti kebenaran.
Sikap abai dan tidak bertanggung jawab. Paling klasik dan simpel adalah sesuai prosedur. Sikap yang legalis, meskipun tahu bahwa prosedur yang dijalani itu ada yang tidak beres, karena sudah dijalani dianggap sebagai kebenaran. Jika sikap ini bisa diperbaiki, jangan kaget negara ini bisa menjadi negara besar, maju, dan disegani.
Tidak bisa membedakan mana yang penting, mendesak, dan penting namun tidak mendesak, dan remeh. Contoh dapat kita berikan masing-masing dengan mudah. Salah satu contoh, mana ada sekarang ini pengendara kendaraan minggir karena ada ambulance meraung-raung minta jalan. Akan berbeda ketika gerombolan manusia pamer kemewahan dengan arogannya minta jalan.
Bangsa yang besar itu akan menghormati bahasa dan manusia dengan baik. Tidak heran kalau bangsa asing akan meremehkan Indonesia karena sikap bangsa ini sendiri yang tidak respek akan kebangsaan, seperti terhadap bahasa Indonesia, dan kemanusiaan bangsa sendiri. Tidak perlu kaget kalau bangsa lain mengatakan Indonesia tidak akan menjadi besar dan membuat segan bangsa lain. Atau penculikan satu demi satu terjadi, penganiayaan tenaga kerja di luar negeri, karena sikap kita sendiri.
Tidak perlu menuduh bangsa lain nggembosi bangsa ini. Kita sendiri yang membuat bangsa ini kecil karena sikap toleran pada kejahatan, kekerasan, dan kemaksiatan, namun malah keras kepada dan memusuhi perilaku baik dan memperjuangkan kebaikan.
Apa yang bisa dilakukan?
Pendidikan. Menciptakan siswa-siswi yang kritis dan cerdas, bukan samata menghapal. Apalagi mengandalkan bocoran soal di mana-mana. Sikap penghargaan akan kemanusiaan adalah kejujuran yang ditanamkan sejak dini. Nilai itu adalah konsekuensi logis, bukan tujuan akhir. Tidak heran pejabat pun membeli suara untuk menjadi pejabat.
Sikap mental. Jika pendidikan telah dibenahi, tentu sikap mental instan, abai, tidak bertanggung jawab itu akan ikut berubah dan membaik. Itu bukan hanya pemerintah saja seluruh bangsa dan negara ini. Jangan kaget suatu hari negara ini akan tidak ada pejabat yang hanya bisa menghujat tanpa kerja.
Menghargai proses. Mental bangsa ini adalah mental terabas yang penting hasil, soal cara, proses, dan bagaimana mendapat itu tidak penting. Anak malah nilai sempurna, pejabat korup masih bisa melenggang di mana-mana, kaya hasil maling dihormati, yang sederhana karena jujur malah hancur, itu semua karena orang fokus pada hasil bukan perjuangan akan proses.
Malu melanggar. Bagaimana malu kalau melanggar pun dipertontonkan oleh elit. Termasuk di sini adalah malu kalau kaya karena maling. Nilai tinggi karena bocoran, atau menyuap demi sebuah prestasi dan pekerjaan, selama ini malah bangga dan merasa hebat dengan itu semua.
Apakah bisa? Tentu saja bisa sepanjang ada kemauan untuk berubah dan bebenah. Jati diri manusia itu baik adanya. Pengaruh baik itu perlu digaungkan dan digelorakan.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H