Menanya Sense of Crisis DPR, LSM, dan Ormas Soal Terorisme
Hari Raya Idul Fitri telah menjelang, namun perilaku, bodoh, biadab, dan miris kembali terjadi. Penangkapan demi penangkapan terduga pelaku teror banyak, namun masih juga ada kisah bom bunuh diri di Solo. Tanya yang seolah mengembara tanpa adanya ujungnya, ketika perilaku untuk begitu bebas, leluasa, dan merajalela.
Bagaimana tanggapan dewan, ormas, LSM, dan lembaga negara lain, bandingkan dengan teriak lantang mereka soal kematian almarhum Siyono, atau gegap gempitanya dewan mengajukan gagasan untuk pengawas Densus 88, atau pembelaan demi pembelaan yang diajukan kala ada ide pelaksanaan hukuman mati. Apakah karena lebaran nuansa fitri, liburan, dan sedang mudik, mereka seolah diam seribu bahasa?
Bagaimana berkali-kali BIN, kepolisian, BNPT mengeluhkan “longganya” UU mengenai terorisme. Pelaku teror akan bisa ditangkap jika sudah melakukan aksinya, bahasa awam yang saya pakai, jika belum bisa ditangkap. Apa bedanya orang mau berak, baru membuat kakus atau jamban? Beberapa bulan lalu di salah satu pegunungan di Temanggung ada pelatihan ala militer, namun hukum tidak bisa menjerat mereka. Berbeda dengan hukum “represif” era orde lalu, atau hukum di negara Malaysia.
Bolehlah bicara soal HAM, demokrasi, kebebasan, dan tetek bengeknya, namun itu harus dibarengi tanggung jawab dan sikap moralitas tinggi. Itu semua lewat jika perilaku manusianya masih seenaknya sendiri, bisa menerjemahkan hukum sesuai konteks dan keinginan masing-masing.
Sepakat bahwa negara menuju ke sana, namun bagaimana LSM menuduh presiden melumuri darah ketika mau menghukum mati pelaku perdagangan narkoba, namun kini mereka diam saja melihat polisi hendak dicoba diledakkan? Apakah ini tidak melumuri darah bangsa ini dengan pilihan naif dan ironis, saat aparat negara yang dijamin UU mau dibunuh dengan keji?
Jika mau menegakkan keadilan dan kebenaran, mengapa tidak meledakkan Joko Susilo polisi korup itu? Atau ledakkan saja polisi lalu lintas yang sedang malak dengan alasan UU namun menindak di luar prosedural itu? Lahan menegakkan kebenaran itu beribu jalan.
Bagaimana ormas berteriak lantang meminta polisi menyeret oknumnya yang membunuh terduga teroris, membongkar makamnya, menyatakan ada dugaan pembunuhan? Itu bagus, sah, dan membela yang harus dibela? Namun kini, ketika kantor polisi dicoba diledakkan, mengapa tidak terucap sekecap saja ucapan? Apakah suara untuk kebenaran itu tidak ada? Jika iya, polisi yang diberi wewenang kalah terhormat dari terduga teroris? Ini mungkin terlalu berlebihan, namun itu adalah fakta yang ada.
Kembali lagi kebebalan atau memang tidak tahu tugasnya dewan periode ini? Berkali-kali teroris melancarkan aksinya, berulang-ulang bom dirakit dan diketemukan, berkali pula aparat negara menjadi korban, namun sekalipun mereka belum pernah berteriak-teriak sekencang soal revisi UU pilkada, atau wacana pembentukan pengawas densus. Luar biasa kinerja, ide, dan pola pikir yang mulai anggota dewan ini.
Pembiaran demi pembiaran, dan cenderung telah menjadi sebuah pembenaran, ketika ormas tidak mau mencantumkan Pancasila sebagai dasar mereka masih bisa berteriak dengan lantang menghujat negara, pemimpin negara, dan tidak jarang penganut agama lain. Ingat ini bukan semata SARA namun fakta yang terjadi selama ini. Penindasan dan kekerasan atas nama hukum dan kepercayaan kelompok masih merajalela.
Kesetiaan akan azas yang masih lemah. Indonesia telah sepakat dan banyak yang menilai sebagai harga mati dengan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, namun seorang tokoh masih dengan bangga mengatakan itu semua sebagai kendaraan saja, dan tidak ada tindakan tegas. Sebuah hal kecil namun fundamental telah tergadaikan dan terabaikan dengan sangat telak.