Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rabu Bersama Ayah, Bukan Film, Namun Teroris

5 Juli 2016   19:53 Diperbarui: 5 Juli 2016   20:26 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak-anaknya harus menginap di kota yang asing bagi mereka. Di sana mereka dikawal dengan ketat, dan penuh dengan kecemasan, kesedihan, dan kekalutan. Lebarann jauh dari keluarga, eh malah diperiksa ini itu, baik oleh polisi, dokter, ataupun oleh polwan-polwan yang meskipun ramah tetap saja “menakutkan”

Tiba-tiba si bungsu nyeletuk,”Bu, kapan kita nonton “Sabtu Bersama Bapak, yang sudah Ibu janjikan, kapan Bu...”sambil merengek. Katanya Lebaran, lha ini malah kita pergi jauh banget, aku capek Bu?” sambil menyeka ingusnya.

“Dek, sabar ya, kita sedang mencari Bapak, nanti kita bersama Bapak nontonya ya?” hibur si kakak dengan tidak kalah sedihnya. Si Ibu hanya bisa menangis, meskipun tahu suaminya berjuang di dalam kepercayaannya, toh menanggung dua anak bukan hal yang ringan. Ia hanya terisak diperiksa oleh polisi muda itu. Meskipun mereka tidak melakukan kekerasan tetap saja tidak mudah untuk tegar dan kuat.

Ia menyimak dengan mimik datar dan malaikat tidak kalah datarnya. Seperti menonton film Sabtu Bersama Bapak.

Kisah berlanjut dengan cara menyaksikan yang tidak berbeda.

“Ibu aku mau kupat opor seperti di rumah. In kan Lebaran, mosok kita makan nasi kotak. Aku mau pulang saja, gak enak di sini, aku mau pulang,” tangisnya mulai pecah.

Si ibu hanya menangis dan menangis...si pembom masih saja datar dan tanpa ekspresi.

Apakah ada sesal di hatinya? Sedang dalam hidup nyata pun dia sudah abai akan anak istri. Mengejar janji 72 bidadari dengan meninggalkan anak istri yang dibiarkan dalam derita sendiri, sedang ia mengejar “kesenangan dan impiannya.”

Artikel ini tidak hendak menghakimi pelaku bunuh diri, namun pemikir, otak, dan perancang itu semua. Mereka enak-enakan dengan keluarganya sedang akan keluarga lain harus menderita karena polah mereka. Mereka masih bisa memeluk istri, anak, bahkan gundik mereka. Sedang di tempat lain ada anak yang menanti bapak mereka di dalam kemiskinan, tangis, dan derita, serta terkucil. Mengapa para pemikir itu enak-enakan dan tidak mau juga mati, kalau memang perjuangannya itu benar dan suci? Jawaban klise adalah pemimpin mati belakangan, namun apakah mereka bertanggung jawab atas kehidupan anak-anak dan janda yang mereka korbankan?

Satu catatan bagi pelaku yang merasa benar, jika iya, janganlah meninggalkan janda dan anak-anak yang tidak bersalah. Matilah sendirian, jadi kalau mau mati suci, lebih baik kalian memilih hidup sendiri, jangan beranak dan dibiarkan menderita. Membebani negara dan Tuhan untuk memelihara mereka? Luka yang besar akan merenggut masa depan mereka.

Sama sekali ini bukan soal SARA, namun soal perilaku teror yang maaf bodoh, mati di dalam keadaan belum “bangun” di dalam keterbatasan pemahaman yang dipermainkan oleh kekuatan dan kekuasaan lain yang mengelabui mereka. Mengapa saya mengatakan mereka terkelabui? Mereka tidak sadar bahwa keterbatasan mereka dimanfaatkan pihak lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun