Antony De Mello mengatakan kita masih belum “BANGUN” ketika kita masih mengidentifikasikan diri sebagai nama, profesi, pekerjaan, hobi, status, label, dan sebagainya. Kita sejatinya bukan tersebut itu.
Ajahn Brahm mengatakan orang yang masih suka akan pujian, termasuk sedih atas cemoohan, dan besar hati saat ada dukungan, mengerdil ketika mendengar celaan, orang itu masih menderita. Derita akan lepas bebas saat kita bisa mengatakan “SEMUA TIDAK PENTING.”
Dua tokoh spiritualitas tersebut mengajarkan kepada kita apa arti diri kita ini. Sering kita labeli diri kita, kita mengindentifikasi dengan apa yang bukan diri kita yang sejati. Tidak heran kita mengenal post power syndrom,merasa sedih, kecil hati, merana, kesepian, dan dunia itu runtuh. Mengapa demikian? Karena dunia tidak mampu memberikan semua yang kita perlukan.
Ketidakpuasan kita lah yang membuat kita nyenyak dalam bayangan yang kita ciptakan sendiri. Tidak heran tercipta saling menghujat, menyalahkan pihak lain, iri hati, dengki, merasa terancam, dan orang lain sebagai musuh dan bukan rekan seperjalanan.
Lahirlah kepercayaan manusia adalah serigala bagi manusialain. Padahal Tuhan menciptakan manusia sebagai rekan dan sesama manusia yang setara. Ciptaan paling mulia dan tidak ada yang lebih satu di antara yang lain. Pribadi lain adalah rekan sekerja dan saling melengkapi bukan untuk meniadakan. Hanya hak prerogatif Tuhan yang apapun namanya yang bisa menghentikan hidup orang sebagai ciptaan-Nya.
Semuanya itu hanya sementara. Hanya sesaat. Tidak heran ada orang yang mengatakan jatuh cinta itu seperti orang yang mabuk. Orang mabuk itu tidak sadar. Almarhum Gombloh mengatakan tai kucing pun rasa coklat. Tentu hidup itu adalah demikian sepanjang kita tidak BANGUN.
Kita hidup di dalam ketidaksadaran, salah satu ciri adalah, kita hidup di dalam kata orang, takut jika tidak diterima oleh masyarakat. Menyenangkan orang lain, termasuk orang tua, guru, masyarakat, dan siapa yang lebih berkuasa atas kita.
Kita hidup di dalam ketidaksadaran, karena kita menjalani apa yang orang lain inginkan, bisa orang tua, pemuka agama, atau masyarakat, tanpa mau tahu dan kritis melihat diri, apakah ini mauku, di dalam Tuhan.
Kita hidup dalam ketidaksadaran, kala masih berpusat pada diri sendiri dan kelompok. Menilai yang lain pasti salah dan perlu dibenarkan. Kebenaran di dunia masih relatif, kebenaran kita ada pula kebenaran pihak lain.
Kita hidup dalam ketidaksadaran,jika selalu merasa curiga akan disakiti, dirugikan, dan menyatakan pihak lain sebagai musuh yang perlu diserang, dijadikan sasaran kemarahan, dan kacamata hitam dikenakan.
Kita hidup dalam ketidaksadaran, jika kita tidak bisa berpikir baik ada pada orang lain. Kebaikan hanya dalam diri kita dan orang lain pasti salah.